Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah program mulia. Betapa tidak, program yang sudah berjalan sejak Januari 2014 ini telah membuka akses warga tidak mampu pada layanan kesehatan. Ibaratnya sekarang "orang miskin tidak lagi dilarang sakit" dengan adanya program asuransi kesehatan semesta ini.
Hanya saja, beberapa tahun belakangan ini, JKN dirundung masalah defisit. Dari periode 1 Januari 2024 sampai Oktober 2024 saja, Â defisit sudah mencapai Rp 12,83 triliun (Kompas, 11/11/2024). Hal ini berpotensi mengurangi kualitas layanan kesehatan di fasilitas kesehatan (faskes) maupun rumah sakit-rumah sakit penyedia layanan (provider) dalam bentuk pengetatan syarat pemberian obat, pencairan tagihan (billing) yang terlambat sehingga menyulitkan arus kas rumah sakit, dan lain sebagainyaÂ
Tak pelak, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara JKN bersama seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) harus mencari jalan keluar terkait masalah defisit ini. Pasalnya, selain akan membebani anggaran negara (APBN), defisit yang terus-menerus akan mengalangi BPJS Kesehatan memberikan layanan maksimal. Ujung-ujungnya, masyarakat juga yang akan terkena getahnya berupa teralangnya mereka menikmati layanan kesehatan yang memadai.
Outlier kesehatanÂ
Salah satu akar permasalahan di balik defisit JKN adalah klaim kesehatan yang selalu tidak sebanding dengan jumlah iuran premi yang terkumpul. Maka itu, kenaikan premi selalu menjadi opsi yang pertama dimunculkan setiap kali ada defisit. Â
Padahal, ada satu cara yang sama pentingnya tapi jarang dibahas, yaitu membenahi aspek hulu permasalahan berupa upaya menekan angka klaim. Adapun klaim bisa ditekan jika upaya pencegahan penyakit dilakukan secara baik. Dengan kata lain, jika masyarakat sehat sejak dini, angka klaim pun akan turun dengan sendirinya.
Dari sini, kita bisa memetik pelajaran berharga dari konsep outlier. Menurut Malcolm Gladwell dalam buku larisnya Outliers (Gramedia Pustaka Utama, 2010), outlier adalah sesuatu luar biasa yang menonjol tegas jika dikomparasikan dengan para pembandingnya. Dalam konteks kesehatan masyarakat, Gladwell menemukan outlier pada desa Roseto di New York, Amerika Serikat. Di Roseto, para penduduknya berumur panjang dan tidak ada penduduk berusia di bawah 65 tahun yang mengidap penyakit jantung atau penyakit kronis lain. Ini kian luar biasa karena penduduk Roseto memiliki pola makan kaya lemak alias boleh dibilang "tidak sehat." Tambahan lagi, mereka pun terbilang jarang berolahraga.
Lantas, apa resep sehat para outlier di desa Roseto tersebut? Jawabannya sangat di luar dugaan: pola interaksi antarwarga yang intim, akrab, dan penuh rasa kekeluargaan. Warga desa ini sering dijumpai saling menyapa, bercengkerama dan berbincang hangat satu sama lain. Mereka pun egaliter sehingga segala penonjolan ego maupun status oleh siapa pun (seperti status kekayaan misalnya) dianggap hina dan akan menuai kecaman. Alhasil, tidak ada kesenjangan maupun kecemburuan sosial di Roseto. Singkat kata, penduduk Roseto menjadi luar biasa sehat karena mereka memiliki kehangatan, harmoni, dan kohesi sosial yang tinggi.
Ruang publik Â
Artinya, keguyuban atau kehangatan hidup bermasyarakat sebagaimana dilukiskan oleh sosiolog Ferdinand Tonnies dengan istilah Gemeinschaft (Tonnies, Community and Society, Harper & Row, 1967) adalah kunci bagi terwujudnya suatu masyarkat yang sehat secara rohani maupun jasmani.