Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perlunya Teologi Ortopraksis

22 Januari 2025   08:30 Diperbarui: 22 Januari 2025   08:33 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover buku Teologi Pembebasan karya Francis Wahono (sumber: perpustakaan.binadarma.ac.id)

Salah satu virus berbahaya yang menjangkiti relasi antara agama dan kehidupan dunia adalah sekularisme. Inilah paham yang mengatakan agama seyogianya tidak memiliki peran dalam urusan-urusan dunia. Sebaliknya, agama dipinggirkan untuk menangani urusan keakhiratan dan iman belaka, sementara urusan dunia diserahkan kepada rasionalitas manusia semata.

 Padahal, pola pikir semacam ini destruktif karena memasung potensi agama sebagai salah satu sumber energi kreatif bagi pemecahan masalah konkret sehari-hari manusia. Bahkan, keterpisahan agama dari masalah dunia malah menjadikan penganut agama bersikap fatalistis (baca: pasrah) ketika menghadapi problema-problema duniawi. Fungsi agama yang seperti inilah yang justru diserang Karl Marx ketika mengatakan "agama itu candu" saat Marx membahas sikap kaum buruh yang miskin, tertindas, dan enggan melakukan perjuangan revolusioner mengubah nasib.

Dua teologi transformatif

 Oleh karena itu, agama harus dibebaskan dari belenggu yang menjeratnya. Singkat kata, agama memerlukan semacam teologi transformatif alias revolusioner. Dalam khazanah teologi Katolik, misalnya, kita mengenal teologi pembebasan di Amerika Latin. Menurut Francis Wahono dalam Teologi Pembebasan (LKIS, 2000), teologi ini adalah persenyawaan antara ajaran Katolik dan doktrin Marxisme yang bersendikan empat pilar. Pertama, kemandirian rakyat (independency) sebagai ciptaan Allah yang tertinggi. Kedua, solidaritas (solidarity) yang mengutamakan rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikan dan kemajemukannya. Ketiga, keadilan sosial (social justice) yang menekankan pemenuhan sarana kehidupan dasar bagi seluruh warga negara. Keempat, kerakyatan (populist) yang mengutamakan cinta kepada kemanusiaan, terlebih kepada mereka yang termarginalkan.   

 Itu dari segi teologi Katolik. Di Islam, ada tokoh sekelas almarhum Muslim Abdurrahman yang menggagas teologi transformatif. Menurut Muslim dalam makalah lawasnya "Wong Cilik dan Kebutuhan Teologi Transformatif" (lihat Teologi Pembangunan, Lajnah NU, 1986), teologi transformatif itu memiliki enam dasar. Pertama, memiliki visi sosial yang membebaskan (emansipatoris). Kedua, mementingkan artikulasi substansi agama ketimbang bentuk formil agama. Ketiga, bersibuk melakukan dialog antara teks (baca: kitab suci) dan konteks (baca: realitas konkret). Keempat, berorientasi pada kepentingan umat. Kelima, berfokus pada segi praksis. Keenam, bersikap kritis terhadap realitas sosial.  

 Melihat rumusan dua teologi revolusioner di atas, kita bisa memeras satu substansi. Yaitu, teologi yang membebaskan atau transformatif itu harus bersifat ortopraksis ketimbang ortodoks. Merujuk pada akar kata Yunaninya, praxis, maka definisi ortopraksis adalah aplikasi praktis dari teori (teologi/agama) yang berperan membebaskan manusia dari permasalahan yang digelutinya. Dan, persis substansi teologi transformatif inilah yang dilalaikan banyak pemeluk agama yang larut dalam sekularisasi dan mabuk berasyik-masyuk dengan dimensi materi kehidupan duniawi. 

 Bahkan lebih parah lagi, pengabaian substansi teologi transformatif juga membuahkan sikap ekstrem kaum beragama berupa mentalitas yang fatalistis. Sebab, kaum beragama yang merasa gagal dan kurang sukses dalam kehidupan duniawinya kemudian lari berlindung di balik ajaran agamanya dan sibuk melakukan ibadah ritual-formal. Harapannya, mereka akan mendapatkan keamanan hidup di surga sebagai kompensasi kegagalan mereka meraih sukses di dunia. 

Ujung-ujungnya, sikap di atas ini hanya melahirkan kesalehan simbolis individual yang justru bisa mengeras menjadi sikap beragama yang fundamentalis. Pasalnya, agama persis telah menjadi satu-satunya sumber pengharapan akan keselamatan bagi "orang-orang kalah". Sehingga, siapa pun yang berani mengusik oase harapan itu---misalnya dalam bentuk kritik terhadap agama---akan direspons dengan sikap brutal penuh kekerasan. Ibarat kata, mereka akan mengganyang dengan penuh kegeraman pihak mana pun yang mengusik "periuk jiwa" mereka sesudah "periuk nasi" mereka ditumpahkan. 

Lintasdisiplin

 Oleh karena itu, sudah saatnyalah kita kembali merevitalisasi ajaran teologi transformatif demi melahirkan pribadi-pribadi saleh yang kuat dalam ibadah ritual, tapi juga berkontribusi penting bagi kemaslahatan sosial. Singkat kata, pemeluk agama atau umat beragama mesti menonjolkan dimensi praksis agama lewat amal-amal konkret memecahkan masalah-masalah duniawi. 

Sebagai contoh, agama-agama dunia harus mulai merumuskan format teologi yang memiliki kata sifat berkarakter praktis. Taruhlah teologi politik, teologi ekonomi, teologi sosial, teologi budaya, teologi energi, teologi lingkungan, dan lain sebagainya. Inilah bentuk teologi yang menafsirkan risalah-risalah kitab suci untuk meraih pesan universal dalam konteks kekinian yang dapat berguna bagi pemecahan masalah-masalah manusia kontemporer sebagai pengamal agama. Sebab, filsuf pragmatis John Dewey pernah berkata, "Untuk apa Tuhan menurunkan agama di dunia, jika agama tak berdaya memecahkan masalah-masalah manusia?". Karena itu, agama harus berani membuka diri terhadap pemikiran-pemikiran lintasilmu dan lintasdisiplin dari berbagai bidang. Dengan demikian, semoga umat beragama bisa mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi sesama dan alam semesta di dunia.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun