Sebagai dasar filsafat negara atau ideologi negara, Pancasila diharapkan bisa dihayati oleh seluruh rakyat Indonesia. Akan tetapi, sulit mengharapkan demikian jika Pancasila berhenti sebatas jargon. Supaya nilai-nilainya tertanam di dalam masyarakat, Pancasila harus mewujud konkret dan memberikan efek positif nyata bagi warga negara.
Utamanya, konkretisasi suatu ideologi akan lebih terasa apabila ideologi itu mampu diejawantahkan dalam bentuk kebijakan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, penting bagi kita untuk menggali satu sistem perekonomian khas Pancasila bernama Sistem Ekonomi Pancasila (SEP). Sebab, penggalian paradigma berpikir ekonomi yang sesuai dengan jati-diri bangsa akan berujung pada keberhasilan suatu negara memakmurkan masyarakatnya tanpa mencerabut akar budaya mereka.Â
Dalam konteks ini, warung padang (restoran minang) dan warung tegal (warteg) bisa kita lirik sebagai dua contoh entitas SEP.
Konsep ekonomi Pancasila kali pertama dirumuskan pada 1981 oleh Prof. Mubyarto dan Boediono. Menurut Mubyarto dalam Ekonomi Pancasila (UGM Press, 1981), sistem ekonomi Pancasila (SEP) adalah sistem ekonomi yang dijiwai ideologi Pancasila, sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional.
SEP memiliki lima prinsip dasar ekonomi: (1) peran dominan koperasi dalam kehidupan ekonomi; (2) harus ada rangsangan-rangsangan yang bersifat ekonomis maupun moral untuk menggerakkan roda perekonomian; (3) adanya komitmen sosial yang kuat untuk melakukan pemerataan sosial; (4) menciptakan suatu perekonomian nasional yang tangguh; (5) melaksanakan desentralisasi dalam kegiatan ekonomi.
Kelima prinsip dasar SEP ini kemudian bisa ditemukan dalam manajemen restoran Minang. Sebagaimana diungkapkan penelitian sosiolog Mochtar Naim dalam Jurus Manajemen Indonesia: Sistem Pengelolaan Restoran Minang, Sebuah Prototipe Sistem Ekonomi Pancasila (YOI, 1987), ada beberapa aspek Pancasilais dalam manajemen restoran Minang. Pertama, aspek hubungan kerja. Pada aspek ini, rata-rata restoran Minang menerapkan hubungan kerja yang sangat kental nuansa kegotong-royongannya. Misalnya, semua karyawan tunduk secara aklamasi terhadap peraturan yang telah diakui bersama. Kemudian, rekrutmen karyawan diutamakan dilakukan terhadap kerabat sekampung tanpa mengabaikan aspek kompetensinya. Ini tentunya angat mendekati corak koperasi yang berasaskan kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Kedua, aspek hak dan kewajiban karyawan. Kebanyakan restoran Minang biasanya memberlakukan pembagian keuntungan. Selain itu, karyawan umumnya mendapatkan fasilitas penginapan jika mereka mau menggunakannya. Sebagai kewajiban, karyawan diharuskan memperhatikan setiap tamu yang datang dan ini harus dilakukan tanpa perlu menunggu perintah atasan. Dengan demikian, setiap karyawan memiliki semacam rasa memiliki terhadap restorannya. Jadi, ada komitmen sosial kuat untuk melakukan pemerataan sosial di antara para pegawai.
Ketiga, aspek pembinaan karyawan. Pembinaan biasanya tidak memiliki penjadwalan tertentu dan bisa dilakukan dengan jalan sesama karyawan saling menasihati satu sama lain. Di sini, semangat kegotong-royongan kental terasa. Selain itu, pembinaan dan tindakan menasihati ini berperan sebagai rangsangan moral bagi sesama pegawai untuk bekerja sama memajukan restoran tempat mereka mencari nafkah.
Berbekal ketiga aspek itu, terbukti bermekaran sejumlah merek restoran Minang yang mampu berjaya di level lokal maupun nasional. Â