Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Humanisme Sekuler Menuju Kebangkrutan, Ini Alasan Filosofisnya

20 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 20 Januari 2025   17:44 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak ada yang memungkiri bahwa kita sekarang ini hidup di zaman yang demikian canggih di era kemajuan teknologi. Kian menyatunya dunia akibat kemudahan interaksi antarmanusia secara lintas benua lewat beraneka media teknologi informasi (TI)—Internet, media sosial, artificial intelligence (AI), telepon pintar, dan lain sebagainya—awalnya membawa optimisme bagi kualitas kehidupan di segala lini. Juga, harapan bagi terwujudnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) dan hubungan harmonis antarinsan secara hakiki di muka bumi.

Namun, kenyataan yang terjadi sungguh jauh panggang dari api, bahkan memiriskan hati. Alih-alih mendapati implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang kian cemerlang, kita justru melihat hamparan fenomena horor aias mengerikan di mana-mana terbentang: maraknya perdagangan manusia, derasnya peredaran obat laknat perampas nyawa bernama narkotika, kian kerapnya frekuensi aksi teror beraroma kekerasan fisik seperti pemboman dan penyanderaan, semakin kerasnya konflik antarnegara dan antaragama, meningkatnya angka bunuh diri, kian tingginya kesenjangan antara si kaya dan miskin, dan lain sebagainya.

Alhasil, dunia modern yang semakin maju dari segi teknologi ternyata justru kian merosot dari segi moralitas. Dengan kata lain, lanskap ini menandakan kebangkrutan suatu filsafat bernama humanisme-sekuler.

Humanisme-sekuler

Secara filosofis, humanisme sekuler adalah filsafat modern yang lahir karena keinginan manusia untuk mengoptimalkan akal budinya secara penuh demi menjadi manusia sejati (humanisme). Semboyan utama humanisme sekuler adalah sapere aude! alias “beranilah berpikir sendiri” sebagaimana dicetuskan oleh para filsuf masa Pencerahan (Enlightenment). 

Akibat pendakuan sebagai makhluk berakal budi satu-satunya di dunia, manusia tidak lagi merasa terpesona kepada dunia alam (natural world), termasuk keindahan sang Pencipta di balik dunia ciptaan-Nya itu. Sebaliknya, manusia modern justru melihat dunia alam sebagai sesuatu yang harus tunduk kepada dirinya dan layak dieksploitasi demi memuaskan hasrat kepentingan manusia. Kata kunci dari sikap seperti ini adalah yang sering disebut sebagai “ketidakterpesonaan terhadap dunia” (disenchanment of the world). 

Singkat cerita, manusia merasa sebagai penguasa dunia dan abai terhadap keberadaan Tuhan, termasuk ajaran-ajaran agama yang berisikan nilai-nilai luhur pemandu amal perbuatan. Manusia merasa bisa menemukan nilai-nilai luhurnya sendiri ketika ia bergulat mengeksploitasi dunia dalam konteks sejarah yang partikular alias khas. Artinya, manusia ingin mencari dan menggunakan nilai-nilai etisnya sendiri ketika berkecimpung di dalam ranah publik. Terjadilah kemudian pemisahan antara nilai agama sebagai keyakinan pribadi (private domain) dan nilai publik yang dirumuskan sendiri oleh manusia (public domain). Pemisahan inilah yang kita kenal sebagai sekularisme

Oleh karena itu, humanisme dunia Barat yang mendewakan akal guna menaklukkan dunia alam lewat teknologi—berasal dari kata techne plus logos yang artinya ilmu untuk menguasai—adalah humanisme yang bercorak sekuler atau sering disingkat sebagai humanisme-sekuler.

Bangkrut

Berpijak pada kerangka di atas, kita jadi mafhum mengapa fenomena horor dan kekerasan justru kian meningkat di era global sekarang ini. Merujuk Sukidi dalam New Age: Wisata Spiritual Lintas Agama (Gramedia, 2001), akar konflik dan kekerasan sejatinya berupa “perasaan tak aman manusia” (human insecurity) karena mereka saling berkompetisi untuk saling merebut dan menguasai energi pihak lain.

 Jadi, manusia pada dasarnya adalah medan energi. Akan tetapi, karena energi manusia dalam keadaan normal bersifat lemah (weak) dan datar (flat), manusia secara fitrah sebenarnya ingin membuka diri terhadap”energi absolut” yang sering dinamai “Spirit Ketuhanan.” Hanya saja sebelum mencapai itu, manusia akan selalu berusaha mencari tambahan energi dari pihak lain lewat strategi persuasi maupun dominasi yang intinya adalah penaklukan manusia atas manusia lain. Bahasa singkatnya, strategi dominasi ini disebut sebagai eksploitasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun