Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kebangsaan Demokratis, Masukan Pelengkap untuk Profil Pelajar Pancasila

20 Januari 2025   00:34 Diperbarui: 19 Januari 2025   22:43 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Profil Pelajar Pancasila (Sumber: Tribunnews.com)

Selama beberapa tahun belakangan ini pemerintah di bidang pendidikan sedang getol mensosialisasikan Profil Pelajar Pancasila di semua strata pendidikan mulai dari pendidikan dasar. Bahkan Kurikulum Merdeka memiliki program P5, yaitu Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila.

Profil ini ingin memampangkan karakter-karakter apa yang seharusnya dimiliki oleh anak didik kita supaya sesuai dengan nilai-nilai dari dasar filsafat negara, Pancasila. Dalam profil itu, terdapat enam karakter Pancasila lengkap dengan elemen kunci masing-masing. Pertama, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, di mana karakter ini meliputi lima elemen kunci: akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak kepada manusia, akhlak kepada alam, dan akhlak bernegara.

Kedua, kebinekaan global yang tiga elemen kuncinya adalah mengenal dan menghargai budaya, kemampuan komunikasi interkultural dalam berinteraksi dengan sesama, serta refleksi dan tanggung jawab terhadap pengalaman kebinekaan.

 Ketiga, gotong royong yang elemen-elemen kuncinya mencakup kolaborasi, kepedulian, dan berbagi. Keempat, mandiri yang dua elemen kuncinya adalah kesadaran akan diri dan situasi yang dihadapi serta regulasi diri.

 Kelima, bernalar kritis yang memiliki elemen-elemen kunci berupa memperoleh dan memproses informasi dan gagasan, menganalisis dan mengevaluasi penalaran, merefleksi pemikiran dan proses berpikir, dan mengambil keputusan. Keenam, kreatif yang dua elemen kuncinya adalah menghasilkan gagasan orisinal dan menghasilkan karya/tindakan orisinal.

Satu kekurangan

Secara sepintas, profil pelajar Pancasila itu sangat bagus. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, ada satu kekurangan mendasar di sana, yaitu profil tersebut tidak mencantumkan karakter Kebangsaan-demokratis. Konsep ini terjalin sepaket karena, merujuk pada F Budi Hardiman dalam Demokrasi dan Sentimentalitas (Kanisius, 2018), konsep kebangsaan sekaligus memuat aspirasi atas demokrasi dan nilai-nilai universal seperti kesetaraan, keadilan, dan kebebasan. Karakter ini sangat penting karena demokrasi adalah suatu hal yang sudah susah payah diperjuangkan bangsa ini sesudah mengalami dua babak sejarah non-demokratis, yaitu era Demokrasi Terpimpin di masa Presiden Soekarno dan era Demokrasi Pancasila di masa Presiden Soeharto sebelum memasuki fase demokratisasi di Era Upaya Reformasi sejak masa kepemimpinan Presiden BJ Habibie pada 1998.

Memang, Zaim Uchrowi dalam Karakter Pancasila (Balai Pustaka, 2013) mencantumkan karakter berdemokrasi dan bermusyawarah sebagai bagian dari pilar karakter Bergotong-royong. Apalagi Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 bahkan menganggap gotong-royong sebagai saripati dari kelima sila. Akan tetapi, karakter kebangsaan-demokratis haruslah dipisahkan tersendiri. Sebab, bergotong-royong yang berarti "bersama-sama mengerjakan atau membuat sesuatu" tidak memberikan andaian tentang "sesuatu" apa yang mau dibuat. Padahal, "sesuatu" yang ingin dikerjakan itu sejatinya bernama "proyek kebangsaan". Itulah suatu proyek di mana himpunan individu berupaya menjadi suatu bangsa karena hasrat untuk hidup bersama dan kehendak untuk melestarikan nilai warisan tersebut. Sehingga, terbentuklah suatu prinsip spiritual yang membangun solidaritas di antara kelompok-kelompok yang berbeda identitas.

 Keberadaan karakter kebangsaan-demokratis menjadi niscaya karena ia berguna untuk meredam dua ancaman global nyata saat ini. Pertama, ancaman relativisme moral-kultural yang bisa dihadirkan oleh konsep kebinekaan global. Ancaman ini berpotensi muncul karena semangat dominannya adalah menoleransi perbedaan budaya yang ada. Di tengah derasnya arus budaya global masuk ke dalam kesadaran anak didik kita lewat media sosial yang kian berkembang, toleransi tanpa didasari oleh karakter kebangsaan-demokratis hanya akan membuahkan pemakluman atau bahkan persetujuan. Alhasil, konsep kebinekaan global yang tidak dikendalikan oleh kesadaran akan kebudayaan khas kita sendiri dalam bingkai karakter kebangsaan-demokratis justru bisa berujung pada pemakluman kita terhadap perilaku hedonistis seperti: konsumsi zat terlarang, seks bebas, seks sesama jenis, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, karakter kebinekaan global akan 'menjinakkan' anak didik kita untuk bersikap politically correct (PC) karena takut bakal menghina kaum minoritas. Padahal, Pancasila mengingatkan kita untuk tidak jatuh pada praktik ekstrem diktator mayoritas ataupun tirani minoritas (Yudi Latif, Negara Paripurna, Gramedia, 2013).

 Kedua, ancaman kapitalisme neoliberal yang sendi utamanya adalah rasionalisme. Inti kapitalisme neoliberal adalah paham yang menganggap semua sektor, publik maupun privat, sebagai lahan yang harus dieksploitasi secara rasional dan efisien untuk mendatangkan profit. Ini berbeda dengan kapitalisme klasik yang hanya mengkhususkan sektor privat sebagai lahan mencari profit (Francis Wahono, Neoliberalisme, Cindelaras, 2003). Alhasil, kapitalisme neoliberal menjadikan sektor publik, seperti sektor kesehatan, energi, transportasi, dan lain sebagainya sebagai ajang mencari laba secara maksimal. Ujung-ujungnya, masyarakat marginal dirugikan karena harga komoditas sektor publik itu menjadi mahal akibat orientasi profit dari kaum kapitalis neoliberal. Indonesia pada derajat tertentu kini sebenarnya berada di atas pendulum yang sedang berayun ke arah praktik kapitalisme neoliberal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun