Kelima, sebagaimana aktor dalam panggung, pemimpin Indonesia sangatlah mementingkan citra ketimbang kinerja, kemasan (gimmick)Â ketimbang praktik. Sehingga, manajemen pers, kehumasan, dan konsultasi citra menjadi sokoguru utama untuk memoles kinerja. Padahal, kinerja prima sejatinya adalah alat utama yang otomatis akan memoles citra.
Penonton Kritis
Berpijak pada analisa di atas, konsep kekuasaan ala negara panggung di Indonesia berpotensi memantik penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, untuk mencegah politik Indonesia menjadi panggung drama tak berkualitas, terpulang pada penonton-lah untuk bersikap kritis terhadap tontonan yang disajikan. Sebuah lakon jelas tak akan bergaung tanpa penonton. Maka itu, setidaknya ada dua cara untuk menjadi penonton kritis satu negara teater. Pertama, 'rakyat penonton' harus cermat memirsa aktor-aktor pemimpin mana yang tak berkualitas. Ini berguna sebagai bahan untuk menghukum seniman-seniman politik medioker itu dengan tidak lagi memilih mereka di ajang pemilihan umum berikutnya.
Kedua, 'rakyat penonton' harus membekali diri mereka dengan peranti yang relevan untuk mengkritik pelakon teater politik. Misalnya, 'rakyat penonton' harus melek hukum dan melek politik guna melakukan langkah-langkah demokratis dalam mengkritik penguasa, seperti: menulis surat pembaca, menulis opini, berdemonstrasi, melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan lain sebagainya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H