Antropolog Clifford Geertz (sumber: timetoast.com)
Melihat perilaku para elit politik kita saat ini, mungkin sebagian orang akan geleng-geleng kepala. Pasalnya, tindak-tanduk para elit itu sering pagi tahu, sore tempe. Misalnya, ada sejumlah elit politik yang dulu mencaci-maki satu tokoh, tapi ketika tokoh itu berkuasa, mereka berbalik menghujani sang tokoh dengan puja-puji. Demikian sebaliknya, ada yang dulu memuji tokoh lain, tapi kini mencercanya. Atau, ada pihak yang tadinya berniat oposisi, tapi kemudian menunjukkan minat mendekat dengan kekuasaan, terlepas dari fakta bahwa oposisi sebenarnya suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi.Â
Artinya, perilaku elit penguasa kita cenderung menganggap diri mereka sendiri sebagai pusat dan rakyat sebagai sekunder. Tak ayal, ini menimbulkan pertanyaan serius terkait budaya kita: jangan-jangan konsep kekuasaan di Indonesia secara substantif memang berpotensi melahirkan penyimpangan?
Negara Teater
Mengingat kebudayaan Indonesia---termasuk kebudayaan etnis mayoritas Jawa yang dominan---sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai Hindu warisan kekuasaan imperium global Majapahit, kita bisa menengok satu studi antropologis tentang konsep negara di satu daerah berpenduduk mayoritas pemeluk Hindu, yaitu Bali.
Dalam Negara: The Theatre State in Nineteenth Century Bali (Princeton University Press, 1980)---satu studi lokal yang diangkat ke tataran umum sebagaimana studi daerah Pare, Religion of Java (1960), oleh ilmuwan sama yang melahirkan tipologi priyayi, santri, abangan---begawan antropologi Clifford Geertz mengemukakan Kerajaan Bali adalah negara teater atau panggung sandiwara (theatre state) tempat raja dan pangeran merupakan aktor utama, pendeta sebagai sutradara, dan rakyat adalah pemain, awak panggung, sekaligus penonton.
Lantas, Geertz menggeneralisir sejumlah ciri utama dalam konsep kekuasaan dan negara di Bali. Pertama, keseluruhan kehidupan negara diarahkan bagi pencarian definisi kekuasaan dan raja. Tujuan utama politik adalah membangun sebuah negara melalui pembangunan diri seorang raja. Kedua, raja adalah manusia yang dianggap suci karena merupakan inkarnasi dewa. Ketiga, raja dan pendeta merupakan pasangan serasi dalam melanggengkan kekuasaan.
Keempat, hubungan raja dengan dunia kebendaan ditandai dengan kata druwe alias kemakmuran, yang identik dengan harta benda pribadi raja sampai kepada bumi, tanah, air, beserta seluruh penduduk. Kelima, rasa harus menjaga dan membangun citranya sebagai pusat dunia yang suci. Hal ini tergantung pada kemampuan raja menjaga, melatih, dan membina emosi, perilaku, jiwa, serta budinya.
Kita bisa melihat kelima ciri elit penguasa Indonesia masa kini memiliki kesejajarandengan kelima ciri negara panggung Geertz. Pertama, para pemimpin Indonesia sering merasa identik dengan negara. Bahkan sebagai justifikasi, hal demikian mewujud dalam paham integralistik di mana negara dan rakyat itu dianggap satu kesatuan (integral). Menurut paham ini, Negara (identik dengan penguasa) dianggap sebagai Bapak yang tahu hal terbaik bagi rakyat yang dianggap Anak. Tak urung, dipahami secara telanjang, paham gagasan Mr. Soepomo ini potensial disalahgunakan untuk melahirkan absolutisme kekuasaan (Marsillam Simanjuntak, Paham Negara Integralistik, 1995).
Kedua, pemimpin Indonesia merasa punya kekuasaan besar yang diklaim sebagai kekuasaan atas nama rakyat. Apalagi di dalam era pemilihan langsung, penguasa seakan-akan mendapatkan titah 'rakyat' sebagai dewa pemegang kedaulatan. Sehingga, penguasa bisa berdalih untuk mempertahankan kekuasaan atas nama rakyat sebagai bemper.
Ketiga, penguasa kita kreatif membuat dalih-dalih agama, baik agama dalam arti harfiah maupun 'agama' yang mensakralkan hal-hal profan/duniawi sebagai pelestari kekuasaan. Contoh: pada era Orde Baru, wacana 'pembangunan' seakan menjadi agama dengan kelas teknokrat sebagai kelas pendetanya. Atas nama 'pembangunan,' penguasa kala itu merasa berhak melakukan banyak hal secara tidak demokratis guna menciptakan kestabilan yang dianggap perlu bagi pertumbuhan ekonomi. Di era pemerintahan saat ini, agama 'pembangunan' bermalihwujud menjadi "pembangunan infrastruktur'
Keempat, ada oknum elit politik Indonesia yang kedapatan menyalahgunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Masih adanya sejumlah kasus korupsi yang melibatkan para petinggi negara, baik di tingkat pemerintah pusat maupun daerah, adalah contohnya.