Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Paham Ekonomi Usang Itu Bernama Neoliberalisme

19 Januari 2025   21:15 Diperbarui: 19 Januari 2025   20:15 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsuf Ekonomi Adam Smith (Sumber: biografiacortade.com)

Terlepas dari dominasi perekonomian pasar bebas berkemasan kapitalisme neoliberal (neoliberalisme) yang dianggap memberi tempat utama bagi inisiatif individu, masyarakat dunia secara keseluruhan masih merana karena ketimpangan sosial ekonomi yang tajam. Presidensi G20 Brasil pada 2024 sampai mengusung tema “Saatnya Membangun Dunia Yang Adil dan Berkelanjutan” pada 11-12 Desember 2023 lalu. Ini sejatinya menjadi bukti kegagalan paham kapitalisme tahap lanjut (advanced capitalism) tersebut yang bercirikan haus laba, minim nilai, sarat problem moral, dan diyakini secara membabibuta oleh pengikutnya bagaikan ‘agama’.

Neoliberalisme

Sejatinya, neoliberalisme adalah varian kapitalisme yang lebih ekstrem daripada kapitalisme awal (early capitalism). Bapak pasar bebas dan kapitalisme klasik Adam Smith dalam The Wealth of Nations (1776) sebelumnya mengajarkan bahwa jika setiap individu bebas mengejar kepentingannya sendiri dalam transaksi ekonomi, maka bukan hanya individu yang beruntung, melainkan juga seluruh masyarakat. Jadi, apabila pemerintah terlalu mengatur dan mencampuri transaksi itu, kesejahteraan tiap orang akan berkurang. Namun, Smith menambahkan satu catatan. Yaitu, pertukaran harus berlangsung dalam pasar terbuka dengan banyak pelaku yang bersaing. Monopoli dihindari karena dianggap menciptakan alokasi sumber-daya yang tidak adil dalam masyarakat serta mengurangi kesejahteraan masyarakat.

Dari perspektif ini, akumulasi kekayaan para individu sangatlah terkait dengan proses pembangunan suatu bangsa. Ini juga sebabnya Smith menjuduli bukunya itu dengan The Wealth of Nations. Maksudnya, individu-individu masih memiliki tanggung jawab implisit dan tidak langsung (indirect responsibility) untuk memenuhi kesejahteraan bangsa dan masyarakat mereka sendiri (nations) secara luas dan secara keseluruhan.

Dari sinilah, neoliberalisme mulai menjadi ‘anak durhaka’ kapitalisme. Sebab, apabila gagasan liberalisme klasik masih memberikan otoritas kepada negara sebagai badan yang menyelenggarakan barang/jasa publik (pendidikan, kesehatan publik, dan infrastruktur lain) sementara sektor privat menjadi motor pengadaan barang/jasa privat, neoliberalisme justru menolak pembagian semacam ini. Alasannya, barang/jasa publik pun diciptakan bukan karena berguna bagi publik umum, melainkan karena barang/jasa
itu mendatangkan laba bagi penyedianya. Makanya, sektor-sektor yang berurusan dengan barang publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain harus dikomersialkan, berujung pada perlakuan barang itu sebagai komoditas ekonomi penghasil laba dan pada dinisbikannya peranan negara.

Dengan kata lain, penetrasi paham neoliberalisme ke dalam sendi-sendi kehidupan kita membuat manusia semakin terisolir dan menjadi pulau bagi dirinya sendiri. Sikap hidup individualistis kian merajalela dan nilai komunal (kebersamaan) semakin terkikis. Masing-masing individu hanya sibuk memikirkan kepentingan dirinya sendiri demi memupuk materi sebanyak mungkin.

Ekonomi Sebagai Agama

Di AS sendiri, kejayaan neoliberalisme ini berawal saat Ronald Reagan pada masa kepemimpinannya (1981-1989) mencangkok paham ini dan mencapnya sebagai Reaganomics. Inflasi dan pengangguran di negara Abang Sam itu pun turun drastis. Neoliberalisme kian berkembang dan, merujuk Richard Nelson dalam Economics as Religion (2001), semakin lestari dalam tararan yang demikian sakral hingga menyerupai agama melalui Mazhab Chicago dan lembaga-lembaga sekolah ekonomi terkemuka.

Alhasil, para ekonom menjadi lebih mirip teolog yang mendakwahkan risalah keagamaan sebagai janji akan jalan sejati menuju penyelamatan di dunia ini—menuju surga baru di muka bumi. Maksudnya, paham ekonomi neoliberal di Amerika Serikat demikian merasuknya ke dalam benak kolektif masyarakat AS dan bahkan dunia sehingga risalah strategi ekonominya dianggap bak fatwa
agama atau bahkan firman Tuhan. Juga, para teknokrat penggagas strategi itu dipuja laksana dewa.

“Religiusasi” ilmu ekonomi di atas itulah yang lantas melahirkan kapitalisme superserakah yang bergerak liar menggila selama berdasawarsa. Muncul kemudian periode melenakan yang terkoreksi tajam oleh krisis ekonomi di kiblat neoliberalisme sendiri, AS, pada 2008-2009. Dengan kata lain, kegagalan neoliberalisme sebenarnya bukanlah kebangkrutan kapitalisme yang dijiwai semangat liberalisme klasik Adam Smith. Melainkan, bukti yang mengumandangkan senjakala satu paham ekonomi bernama neoliberalisme yang telah mengeras menjadi ‘agama usang’. 
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun