Dalam pertandingan sepak bola, sering kali suatu tim harus menerima kekalahan dan menuai kekecewaan mendalam dari para fansnya. Ambil contoh saja ketika tim nasional kita mengalami kekalahan 1 -2 dari China dan 0 -4 dari Jepang dalam ajang kualifikasi Piala Dunia 2026. Â
Namun, para fans harusnya tidak boleh terlalu kecewa dengan fenomena kekalahan tim kesayangan mereka. Mereka bisa mendapatkan penghiburan dan inspirasi dari filsafat. Memang, sebagai satu olahraga yang bersifat universal dan digemari mayoritas penduduk dunia, sepak bola memiliki kesamaan dengan filsafat. Yaitu, keduanya sama-sama bisa menjadi sarana metodis, sistematis dan koheren bagi kita untuk merenungkan kehidupan secara komprehensif dari semua lapangan kenyataan atau aspek kehidupan (Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, 1986). Nah, dari segi filsafat, sepakbola bisa memetik hikmah dari filsafat timur bernama Taoisme (Daoisme) atau sering disebut juga sebagai Filsafat Tao.
Dualitas dunia, bukan dualisme
Sebagaimana dikemukakan profesor perbandingan agama University of California, Huston Smith, dalam buku klasiknya The Illustrated World's Religions (HarperOne, 1995), Taoisme adalah satu filsafat hidup yang masyhur di sejumlah negara raksasa Asia, yaitu: Jepang, China dan Korea Selatan. Filsafat ini menentang dikotomi (pembedaan) atau dualisme ekstrem dan beranggapan bahwa kutub-kutub yang berseberangan di dunia ini sejatinya saling melengkapi, bukan menegasikan. Sebagai contoh, konsep
kebaikan dan kejahatan bukanlah dua ekstrem yang berbeda jauh, melainkan berperan sebagai dualitas yang maknanya sangat dinamis tergantung pada konteks dan perspektif. Â
Ini diilustrasikan dalam kisah "Petani yang Kudanya Kabur". Alkisah, pada satu hari ada seorang petani yang mendapati kuda kesayangannya kabur. Saat mendengar kemalangannya, tetangga sang petani menunjukkan simpatinya. Namun sang petani hanya berkata, "Siapa yang tahu apa yang baik dan apa yang buruk?" Perkataan sang petani terbukti tepat karena keesokan harinya kuda sang petani kembali sambil membawa serombongan kuda liar lain di belakangnya. Kali ini, sang tetangga datang memberikan selamat, namun respons sang petani tetap sama. Kembali, ini terbukti benar keesokan harinya, tatkala putra sang petani mengalami patah kaki saat berusaha menunggangi salah satu kuda liar itu. Sang tetangga lagi-lagi menghibur dan mendapatkan respons serupa, yang terbukti benar sekali lagi. Sebab, ketika sejumlah prajurit datang mencari tambahan tentara untuk pasukan mereka, sang putra terluput dari kewajiban karena cidera kakinya.
Dari perspektif seperti itulah, kita bisa melihat kaitan antara prestasi sepak bola dan Taoisme. Banyak kasus dalam sepak bola menunjukkan dualitas (ingat: bukan dualisme) kemenangan-kekalahan ala Taoisme. Artinya, kekalahan telak satu tim tidaklah dianggap sebagai kemalangan oleh tim bersangkutan. Justru, tim tersebut menganggap kekalahan telak mereka sebagai kejadian penuh hikmah yang menjadi pelecut semangat bagi mereka untuk bermain lebih spartan dan militan pada kesempatan berikutnya.
Salah satu contoh adalah ketika Bayern Muenchen di bawah asuhan Pep Guardiola pada perdelapan final Liga Champions 2015/2016 mampu mengejar ketertinggalan 2 -- 0 di babak pertama melawan Juventus. Tahu bahwa akibat dari potensi kekalahan ini adalah tersingkirnya Bayern dari Liga Champions---karena di leg pertama mereka hanya bermain imbang 2 -- 2 melawan tim yang sama---
Bayern di babak kedua bermain penuh semangat dan mampu melesakkan dua gol balasan. Ujungnya, Bayern mengemas dua gol tambahan di babak pertambahan waktu sehingga lolos ke semifinal dengan agregat 4 -- 2.
Lebih fenomenal daripada Bayern Muenchen adalah kemampuan Real Madrid pada 1986/1987 di ajang Liga Eropa membalikkan keadaan setelah kalah 1 -- 5 di leg pertama oleh Monchengladbach. Tak tanggung-tanggung, mereka membalas dendam dengan menekuk lawan yang sama 4 -- 0 hingga mampu melaju terus ke babak final dan bahkan meraih trofi juara. Atau, prestasi Valencia di Liga Eropa 2013/2014 yang mampu menaklukkan FC Basel 5 -- 0 di leg kedua perempat final setelah di leg pertama bertekuk lutut dengan skor telak 0 -- 3.
Dengan kata lain, Taoisme dan sepak bola mengajarkan kita untuk tidak melihat segala sesuatu dalam perspektif yang hitam-putih atau kita kenal sebagai dualisme. Sebaliknya, kita mesti mengadopsi sudut pandang dualitas di mana aspek kehidupan yang satu saling melengkapi dan memengaruhi aspek lainnya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H