Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme Bukan Solusi Bagi Islamisme, Lantas Apa?

19 Januari 2025   10:02 Diperbarui: 19 Januari 2025   10:02 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu tantangan ketahanan nasional di bidang ideologi yang masih membayangi negeri ini adalah paham Islamisme, yaitu paham yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi politik dan landasan konstitusi. Namun jika sebatas paham, Islamisme sebenarnya sah-sah saja dalam alam demokrasi yang meniscayakan keragaman diskursus untuk didialogkan terus menerus secara bernalar. Masalah akan timbul jika penganut Islamisme memaksakan aspirasinya lewat aksi kekerasan seperti terorisme, bom bunuh diri, dan lain sebagainya, sebagaimana kerap terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.

Islamisme memang masih marak di dunia dan kadang perwakilannya mengungkapkan diri dalam ekspresi yang keras penuh hingar-bingar, meski tidak selalu beraroma tindakan kekerasan (violent). Problemnya dengan sebagian penganut Islamisme adalah mereka kadang tidak mau diajak berdialog secara rasional sebagaimana diniscayakan dalam suatu sistem politik demokratis. Sebaliknya, mereka kerap mengandalkan kekuatan massa dan aksi mengafirkan sebagai instrumen pemberi pengaruh plus tawar-menawar.

Di sisi lain, para penentang Islamisme yang acapkali berlindung di balik tameng kelompok nasionalis justru memberikan counter-opinion dan solusi yang tidak produktif. Pasalnya, sebagian kelompok ini secara sederhana mengajukan penerapan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme sebagai solusi. Padahal alih-alih sebagai solusi, sekularisme-pluralisme-liberalisme mengandung kelemahan yang bisa kita kritik secara rasional.

Tiga kritik

Pertama, alih-alih menjadi penyembuh, sekularisme-lah yang ironisnya justru melahirkan Islamisme. Sejarah mengajarkan bahwa penerapan sekularisme ekstrem (laicite)---paham yang melarang segala simbol agama masuk ke wilayah publik---di Turki adalah faktor pemicu bagi berdirinya salah satu organisasi Islamisme terkenal, Hizbut Tahrir (HT). Sebab, HT yang didirikan pada 1953 adalah respons kegeraman sang pendiri, Taqiyuddin Al-Nabhani, terhadap penerapan sekularisme ekstrem yang bermula di masa pemerintahan Mustafa Kemal Ataturk pada 1924. Menurut Al-Nabhani, salah satu penyebab umat Islam lemah di hadapan Israel dan Barat adalah karena tercerabutnya umat Islam secara politik sebagai akibat penghapusan sistem kekhilafahan oleh Kemal Ataturk (Din Wahid dalam Islam Berkemajuan untuk Peradaban Dunia, Mizan, 2015). Artinya, sekularisme-lah yang melahirkan Islamisme. 

Ini diperkuat oleh ulama Mesir, Yusuf Qardhawi, yang mengatakan bahwa Islamisme (ia menyebutnya sebagai radikalisme) muncul karena enam faktor, salah satunya adalah sebagai reaksi terhadap sikal radikal kaum sekuler yang menolak agama (dalam Irwan Masduqi, Berislam Secara Toleran, Mizan, 2011).  

Kedua, pluralisme itu sering sebangun dengan toleransi ekstrem, yang sesungguhnya bisa berujung pada sikap intoleran terhadap mereka yang tidak sepaham dengan konsep toleransi ekstrem tersebut. Mari kita lihat empat elemen pluralisme keagamaan sebagaimana diuraikan Diana Eck (dalam Craig Considine, Muhammad Nabi Cinta, Serambi, 2018): keterlibatan energik dengan keragaman, pemahaman mengenai tradisi-tradisi keagamaan, masuknya komitmen, dan dialog antariman.

Di sini, salah satu elemen yang bisa dikritisi adalah 'pemahaman', yang berbeda dari pengetahuan. Kata 'pemahaman' bisa menciptakan kesan bahwa seseorang harus membenarkan pendirian teologis orang lain yang berbeda. Padahal, ada aspek-aspek keagamaan yang memang berbeda dan sulit didialogkan. Aspek-aspek itu cukup dihormati, tidak perlu dibenarkan. Ini sesuai dengan pendapat Ahmad Syarif Yahya dalam Ngaji Toleransi (Quanta, 2017) bahwa seorang Muslim harus total meyakini kebenaran ajaran agamanya. Meski itu berarti meyakini kesalahan agama lain, Islam mengajarkan untuk santun dengan mengatakan "bagimu agamamu". Jadi, Islam meyakini pluralitas, bukan pluralisme.

Ketiga, kritik terhadap liberalisme. Gagasan liberal secara esensial bercita-cita untuk mengangkat derajat manusia dengan memuliakan hak asasi manusia (HAM) dan mewujudkan keadilan serta kesejahteraan bagi seluruh warga dunia. Sayangnya, liberalisme yang mencakup juga liberalisme di bidang ekonomi dalam bentuk globalisasi dan pasar bebas sebenarnya menjauhkan ideologi ini dari cita-cita mulia tersebut. Merujuk Yudi Latif dalam "Revitalisasi Pancasila" (dalam Kontroversi Khilafah, Mizan, 2014), di tengah kondisi bahwa manusia tidak terlahir setara, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak yang menang dan kalah serta menumbuhkan ketidaksetaraan di level internasional maupun negara-bangsa.

Melanjutkan Yudi Latif, saya berpendapat bahwa kapitalisme global telah  memprivatkan semua sektor sebagai lahan peraup laba, termasuk sektor publik. Kapitalisme global ini tidak lagi mengenal pemisahan antara sektor privat (swasta) ataupun sektor publik, yang dalam bahasa konstitusi kita merupakan sektor "yang menguasai hajat hidup orang banyak." Alhasil, sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, dan energi yang secara filosofis harusnya dikelola negara demi kemakmuran rakyat, kini menjadi terbuka untuk dijalankan dengan logika swasta yang ingin mengeduk laba semaksimal mungkin. Kapitalisme global lalu menjadi kapitalisme pemangsa (predatory capitalism).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun