Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menimbang Kehalalan Kartu Kredit Syariah

18 Januari 2025   18:04 Diperbarui: 18 Januari 2025   17:44 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Perbankan Syariah(Sumber: Inspired2write.com)

Kartu kredit adalah cara populer untuk membayar barang tanpa menggunakan uang tunai pada waktu pembelian. Di sisi lain, banyak orang melupakan sifat kartu kredit sebagai pengganti uang tunai. Mereka menganggap kartu kredit sebagai tambahan uang guna memenuhi hasrat konsumtif. Akibatnya, banyak pengguna kartu kredit terbelit utang bunga berbunga dan sulit keluar dari jerat
tersebut.

Maka itu, di tengah gairah ekonomi dan bisnis syariah, ketika industri perbankan kita membolehkan kehadiran kartu kredit syariah, tak pelak kontroversi terjadi hingga detik ini. Pasalnya, konsep imbal hasil majemuk  (compounding interest) dari kartu kredit berlawanan dengan konsep perbankan syariah yang mengedepankan prinsip kemaslahatan bersama dan berbagi hasil/risiko (profit/risk sharing) antara bank dan nasabah (Syafi’i Antonio, Bank Syariah, GIP, 2001). Pertanyaannya: sejauh mana aspek kehalalan kartu kredit syariah bisa dipertanggungjawabkan?

Skema

Sejatinya, kartu kredit secara umum bertentangan dengan prinsip syariah karena cenderung mendorong belanja berlebihan dan memberlakukan konsep bunga berbunga. Kendati demikian, sejumlah pakar perbankan syariah membolehkan kartu kredit dengan berbagai syarat. Biasanya, penerbit kartu kredit syariah menggunakan tiga skema. Pertama, skema ijarah (sewa guna). Dalam skema ini, bank atau penerbit kartu (card issuer) berperan sebagai penyedia jasa pembayaran bagi pemegang kartu. Untuk jasa tersebut, nasabah membayar biaya keanggotaan (membership fee) tahunan maupun bulanan.

Kedua, skema kafalah (penjaminan). Di sini, bank atau penerbit kartu adalah penjamin pemakaian pemegang kartu sehingga berhak menerima imbal jasa berupa biaya keanggotaan tahunan dan bulanan. Ketiga, skema qardh (pinjaman). Berdasarkan ini, peran bank atau penerbit kartu adalah pemberi pinjaman lewat penarikan tunai dari ATM. Atas jasa ini, bank mengutip biaya dari pemegang kartu.

Persamaan ketiga skema ini adalah kewajiban menetapkan biaya-biaya beban maksimum termaksud di muka demi menghilangkan unsur ketidakpastian (gharar), salah satu prinsip dasar ekonomi syariah (Antonio Syafi’i, Perbankan Syariah, GIP, 2001). Juga, tidak membolehkan pengenaan beban tambahan apa pun—yang tergolong riba—dalam sisa tagihan. Yang dibolehkan adalah pengenaan
denda atas keterlambatan pembayaran, asalkan dana hasil denda itu tidak dijadikan laba penerbit kartu kredit, tapi disalurkan untuk kepentingan umat dalam bentuk zakat, infak, dan sedekah (ZIS).

Penarikan tunai

Sampai di sini, tidak ada masalah dengan kartu kredit syariah. Namun, ada satu hal lagi yang perlu kita cermati. Yakni, kartu kredit syariah sejatinya tidak membolehkan penarikan tunai (cash advance), yang merupakan pinjaman (qardh). Pasalnya, membolehkan penarikan uang tunai atau pemberian pinjaman dan membebankan biaya apa pun yang mengalir ke penerbit kartu sama dengan
membiakkan uang atas uang, yang tidak dibenarkan dalam syariah.

Sebagaimana dikemukakan A. Riawan Amin dalam Satanic Finance (2007), perekonomian konvensional pada hakikatnya bertumpu pada “Tiga Pilar Setan”, salah satunya adalah fiat money. Inilah mata uang yang diberikan nilai bukan karena nilai intrinsiknya—nilai bahan uang berupa kertas—tapi karena kepercayaan semata pada penerbit uang. Misalnya, uang kertas Rp2.000 sebenarnya tidak memiliki harga Rp2.000 jika ditimbang dari bahan kertas. Nilai Rp2.000 itu tercipta karena pengguna uang memercayai penerbit uang—pemerintah—yang mengatakan uang itu bernilai Rp 2.000.

Artinya, rupiah merupakan fiat money karena kita mempercayai pemerintah bahwa rupiah bernilai sebesar yang tertera di uang kita. Jadi, ketika kartu kredit memberikan fasilitas pinjaman cash advance—yang bersifat fiat—kepada nasabahnya dan membebankan biaya, penerbit kartu kredit mendapatkan imbal hasil uang dari pinjaman uang dan itu tidak sesuai dengan syariah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun