Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sulitnya Menerjemahkan Sila Ketuhanan YME ke dalam Bahasa Inggris

18 Januari 2025   16:58 Diperbarui: 18 Januari 2025   18:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Garuda Pancasila (Sumber: perpustakaan.id)

Selama ini, sudah ada konsensus di mayoritas warga negara bahwa Pancasila merupakan jati-diri bangsa, sesuatu yang membedakan kita dengan bangsa lain. Juga, suatu sintesis ideologi-ideologi besar dunia yang ingin menawarkan jalan tengah. Makarim Wibisono dalam artikelnya "Internasionalisasi Pancasila" (Prisma 2, vol.37, 2018) mengemukakan bahwa upaya awal penawaran jalan tengah Pancasila itu sudah dirintis Bung Karno pada 15 Mei 1956 di depan sidang gabungan Kongres AS. Sebab, Pancasila itu sendiri lahir di tengah keterbelahan dunia antara negara demokrasi liberal pimpinan AS dan negara komunis yang dikomandani Uni Soviet.

Mengingat internasionalisasi Pancasila hanya mungkin jika Pancasila sendiri diterjemahkan ke dalam bahasa internasional, minimal bahasa Inggris, maka kita memerlukan versi terjemahan resmi dari Pancasila. Sayangnya, kita ternyata sejauh ini tidak memiliki versi demikian. Yang ada hanyalah versi-versi terjemahan dan belum satu pun yang diakui resmi.

Ketiadaan terjemahan resmi ini sebenarnya bisa dipahami jika kita melihat kenyataan bahwa ada satu sila yang sangat sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, yaitu sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa." Pasalnya, ada beberapa kemungkinan menerjemahkan sila tersebut, yang masing-masing memiliki dampak filosofis luas serta jauh berbeda.

Dampak filosofis

Pertama, menerjemahkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Belief in (One) God. Ini misalnya dilakukan oleh Bung Karno sendiri dalam pidatonya pada 15 Mei 1956 dengan mengajukan terjemahan Belief in God. Sementara Denny Indrayana dalam disertasi hukum tata negaranya, Indonesian Constitutional Reform (Penerbit Buku Kompas, 2009), menerjemahkannya dengan Belief in One God. Implikasi filosofis dari terjemahan ini adalah Indonesia hanya mengakui agama-agama mapan atau terlembaga, yang dalam literatur agama berbahasa Inggris biasa ditulis sebagai organized/institutionalized/established religions. Alhasil, hanya agama-agama semacam itu yang resmi diakui negara Indonesia seperti sekarang ini: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu plus aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun terjemahan Belief in One God seakan ingin menyatakan secara implisit bahwa agama monoteislah, khususnya Islam dengan prinsip tauhid, yang sesungguhnya lebih menjiwai sila-sila dalam Pancasila. Apalagi komponen Islam ketika merumuskan Pancasila sudah mengikhlaskan dihapusnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Pancasila versi 22 Juni dimana sila pertama berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya") untuk disahkan menjadi Pancasila yang kita
kenal sekarang ini pada 18 Agustus 1945. Alhasil, aspirasi politik sebagian kalangan untuk mengembalikan Piagam Jakarta dianggap memiliki justifikasi kuat jika mengacu terjemahan ini (Adian Husaini, Pancasila bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP, 2009).

Dampak lanjutannya, versi terjemahan pertama bagi sila Ketuhanan yang Maha Esa itu tidak memberikan ruang bagi agama-agama lokal (primal religions) atau aliran-aliran kepercayaan yang menjadi realitas sosial di Indonesia.

Lantas muncullah terjemahan versi lain, yaitu divinity dan Belief in Supreme Being. Dengan menerjemahkan ketuhanan sebagai sekadar keilahian (divinity) dan Yang Maha Esa sebagai Nan Ada Ultim, konsepsi agama yang dirujuk meluas tidak hanya terbatas pada agama-agama mapan ataupun monoteis. Asalkan agama nonmapan atau aliran-aliran kepercayaan itu memiliki konsepsi keilahian dan pandangan spiritualistis mengenai alam semesta, maka semuanya itu layak mendapatkan status pengakuan (recognition) dari negara.

Bahkan lebih ekstrem lagi, terjemahan divinity bisa diperluas untuk mencakup tendensi tak bertuhan (ateisme). Sebagai contoh, pernyataan tokoh-tokoh PKI di masa Orde Lama untuk mengidealkan penggantian sila Ketuhanan menjadi sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup," termasuk kebebasan untuk tidak beragama, bisa saja terjustifikasi apabila menggunakan terjemahan divinity.

Akhirulkalam, kita lihat betapa rumitnya menerjemahkan satu sila saja---yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa---dalam bahasa Inggris. Karena itu,wajar jika sampai saat ini kita belum memiliki versi terjemahan resmi berbahasa Inggris bagi Pancasila. Padahal, kita juga memerlukan itu sebagai sarana untuk menggaungkan Pancasila di kancah internasional. Mari kita bersama-sama berupaya memberikan kontribusi bagi upaya penerjemahannya

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun