Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenal Budaya Apollonian dan Dionysian, Belajar Filsafat bersama komik Batman

18 Januari 2025   13:57 Diperbarui: 18 Januari 2025   14:31 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto kover komik Dark Knight Returns karya Frank Miller (Sumber: koleksi pribadi)

Mencekam! Itulah perasaan yang sehari-hari dialami para penumpang kereta api di New York. Pasalnya, potensi tindak kejahatan selalu menghantui dan bisa menyerang siapa saja secara acak (random). Paling terbaru, Sebastian Zapeta secara tiba-tiba dan tanpa alasan membakar seorang wanita di kereta bawah tanah New York hanya satu hari menjelang Natal (24/12/2024).

Kita lihat bahwa kondisi kereta api New York kurang lebih sama dengan kondisi di kota fiktif Gotham City, tempat superhero DC Comics Batman beraksi. Digambarkan dalam film Batman Begins (2005) maupun Joker (2019), Gotham adalah kota yang sedang dalam proses membusuk (decaying) baik dari segi infrastruktur maupun kejiwaan masyarakatnya. Maka itu, tindak kejahatan sangat tinggi di Gotham sampai-sampai polisi tidak berdaya menanganinya dan menyerahkan pemberantasan kejahatan kepada Batman.

Sebenarnya, kondisi kota metropolitan yang mengandung potensi tingkat kriminalitas tinggi ada di mana-mana. Secara filosofis, ini terjadi karena ada dua budaya yang berseteru dalam setting urban, yaitu budaya Apollonian dan Dionysian. Apa yang dimaksud dengan kedua budaya tersebut? Uniknya, kita bisa belajar dari karakter Batman dan Joker dalam Batman universe.

Budaya Apollonian versus Dionisian

Dalam semesta komik Batman, tokoh Joker adalah karakter penjahat (villain) yang paling menarik perhatian dan demikian digemari. Bahkan edisi khusus majalah berita komik tersohor Wizard (Supervillain Special Edition, 1996) menahbiskan Joker sebagai penjahat komik terhebat nomor dua sepanjang masa, hanya kalah dari Doktor Doom, musuh bebuyutan Fantastic Four. 

Joker demikian memukau karena ia mampu bertransformasi secara radikal. Yaitu, dari penjahat kelas teri ketika kali pertama dimunculkan oleh kreator Batman, Bob Kane dan Jerry Robinson, menjadi penjahat dengan pandangan filosofis kompleks buah karya penulis komik kontemporer, seperti Dennis O'Neil (A Death in the Family, 1988, di mana Joker membunuh Robin), Alan Moore (The Killing Joke, 1988, di mana Joker membuat cacat putri Komisaris Gordon), dan Frank Miller (The Dark Knight Returns, 1986, di mana Joker membuat kerusuhan global). 

Pada fase ini, Joker bertransformasi menjadi representasi dari kekacauan (chaos) sebagai lawan abadi (archnemesis) Batman yang mewakili ketertiban (order). Sang badut ini digambarkan murni berbuat jahat karena memang dia pada hakikatnya sudah "jahat". Bukan karena didorong oleh faktor psikologis atau sosiologis, seperti pelecehan semasa kanak-kanak, latar belakang keluarga miskin, mendapatkan pengaruh dari teman sebaya (peer pressure), dan lain sebagainya. Ini bisa dilihat dari pengakuan Joker dalam film the Dark Knight Rises (2012) yang selalu berubah-ubah dan berbohong tentang asal-usul kegilaannya. Jadi, Joker adalah tokoh yang merayakan kegilaan dan keonaran dalam bentuknya yang paling murni.

Dalam khazanah filsafat, tokoh Joker melambangkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Dionysian (Yasraf Amir Piliang, Hiperrealitas Kebudayaan, 1999), diambil dari nama dewa kegilaan dalam mitologi Yunani Dionysius. Inilah kebudayaan yang mengagungkan unsur permainan, kegilaan, emosi, kekacaubalauan, dan keacakan berpikir. Sekaligus, antitesis dari Budaya Apollonian yang terlalu rasional, tertib, dan serius, suatu budaya yang direpresentasikan oleh Batman sebagai detektif super yang
mendewakan akal.

Bisa dibilang, budaya Apollonian adalah bapak kandung modernitas yang mementingkan dominasi rasio atas kenyataan dan beranggapan bahwa segala sesuatu---termasuk kebenaran (Esse, Being, Truth)---memiliki hakikat universal lagi sejati yang hanya bisa dicapai melalui permenungan akalbudi. Buah dari modernitas ini adalah humanisme universal yang mendorong kemajuan teknologi, keseragaman nilai dan budaya, dan pengagungan manusia sebagai makhluk berakal atas alam semesta.

Sayangnya, humanisme universal juga memiliki efek buruk. Salah satu yang utama adalah rasionalitas sebagai sendi humanisme universal Apollonian ini tidak menyediakan sumber motivasi bagi solidaritas yang berasal dari keinsyafan mendalam bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan (F Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, 2012). Ketiadaan solidaritas dan keasyikan dengan kebebasan individu ini pada gilirannya bisa menimbulkan ketimpangan ekonomi mendalam, kerusakan lingkungan karena kerakusan manusia, penggerusan individualitas unik manusia atas nama keseragaman, serta  hilangnya elemen spiritualitas.

Dampak buruk budaya Apollonian di atas itulah yang ingin dikoreksi oleh Budaya Dionisian, dengan Joker sebagai representasinya. Sebab, budaya Dionysian mengutamakan renjana (passion) ketimbang rasio, pluralitas ketimbang universalitas nilai, dan kekacauan ketimbang keteraturan. Budaya ini lantas melahirkan aliran postmodern sebagai antitesa modernitas. Sayangnya, postmodern yang sering dijadikan tameng filosofis bagi gerakan antikemapanan, antikeseragaman, dan anti-dominasi manusia justru mengulangi kesalahan dari modernitas. Yaitu, postmodern meminggirkan juga aspek spiritualitas dan religiusitas karena menganggap tidak ada Kebenaran sejati di dunia lain (akhirat) sana.

Kegersangan Spiritual

Dengan kata lain, modernisme dan postmodernisme sama-sama menghamparkan panorama kegersangan spiritual bagi warga global. Alhasil, absennya spiritualitas berpotensi mencetak individu-individu yang gamang, tak punya pegangan nilai, dan gagap secara moral dan etis dalam menghadapi hingar-bingar kehidupan yang penuh dengan rangkaian stimulan (rangsangan) tak berkesudahan, apalagi dalam kehidupan urban (perkotaan). Ditambah dengan karakter manusia urban yang bercorak patembayan-individualistis, terpupuklah lahan subur bagi individu untuk menjadikan kekacauan nilai sebagai
"pegangan nilai" itu sendiri. Pada titik ekstremnya, ini kemudian memicu berbagai tindak kriminalitas yang kadang tidak disertai motivasi apa pun, melainkan sekadar ingin berbuat jahat.

 Maka itu, hikmah dari pertarungan budaya Apollonian versus Dionysian yang sama-sama punya efek negatif ini adalah melakukan gerak kembali ke spiritualitas dan ajaran agama sebagai penyeimbang. Dalam hal ini, Indonesia sebenarnya beruntung karena sudah mendeklarasikan diri sebagai negara yang berketuhanan lewat sila pertama dalam Pancasila. Secara doktriner, Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Pancasila mengajari semua warga negara untuk mengakui nilai-nilai ketuhanan dengan cara yang berkebudayaan, seperti menjunjung tinggi toleransi, solidaritas sesama manusia, mencintai tanah air, dan lain sebagainya (Yudi Latif, Negara Paripurna, Gramedia, 2012). Tinggal, bagaimana manusia Indonesia mengamalkan ajaran agama yang mereka peluk masing-masing sebagai oase yang mampu memadamkan segala bahaya, termasuk tingginya tingkat kriminalitas, akibat kegersangan nilai dan spiritualitas dalam diri manusia.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun