Mencekam! Itulah perasaan yang sehari-hari dialami para penumpang kereta api di New York. Pasalnya, potensi tindak kejahatan selalu menghantui dan bisa menyerang siapa saja secara acak (random). Paling terbaru, Sebastian Zapeta secara tiba-tiba dan tanpa alasan membakar seorang wanita di kereta bawah tanah New York hanya satu hari menjelang Natal (24/12/2024).
Kita lihat bahwa kondisi kereta api New York kurang lebih sama dengan kondisi di kota fiktif Gotham City, tempat superhero DC Comics Batman beraksi. Digambarkan dalam film Batman Begins (2005) maupun Joker (2019), Gotham adalah kota yang sedang dalam proses membusuk (decaying) baik dari segi infrastruktur maupun kejiwaan masyarakatnya. Maka itu, tindak kejahatan sangat tinggi di Gotham sampai-sampai polisi tidak berdaya menanganinya dan menyerahkan pemberantasan kejahatan kepada Batman.
Sebenarnya, kondisi kota metropolitan yang mengandung potensi tingkat kriminalitas tinggi ada di mana-mana. Secara filosofis, ini terjadi karena ada dua budaya yang berseteru dalam setting urban, yaitu budaya Apollonian dan Dionysian. Apa yang dimaksud dengan kedua budaya tersebut? Uniknya, kita bisa belajar dari karakter Batman dan Joker dalam Batman universe.
Budaya Apollonian versus Dionisian
Dalam semesta komik Batman, tokoh Joker adalah karakter penjahat (villain) yang paling menarik perhatian dan demikian digemari. Bahkan edisi khusus majalah berita komik tersohor Wizard (Supervillain Special Edition, 1996) menahbiskan Joker sebagai penjahat komik terhebat nomor dua sepanjang masa, hanya kalah dari Doktor Doom, musuh bebuyutan Fantastic Four.Â
Joker demikian memukau karena ia mampu bertransformasi secara radikal. Yaitu, dari penjahat kelas teri ketika kali pertama dimunculkan oleh kreator Batman, Bob Kane dan Jerry Robinson, menjadi penjahat dengan pandangan filosofis kompleks buah karya penulis komik kontemporer, seperti Dennis O'Neil (A Death in the Family, 1988, di mana Joker membunuh Robin), Alan Moore (The Killing Joke, 1988, di mana Joker membuat cacat putri Komisaris Gordon), dan Frank Miller (The Dark Knight Returns, 1986, di mana Joker membuat kerusuhan global).Â
Pada fase ini, Joker bertransformasi menjadi representasi dari kekacauan (chaos) sebagai lawan abadi (archnemesis) Batman yang mewakili ketertiban (order). Sang badut ini digambarkan murni berbuat jahat karena memang dia pada hakikatnya sudah "jahat". Bukan karena didorong oleh faktor psikologis atau sosiologis, seperti pelecehan semasa kanak-kanak, latar belakang keluarga miskin, mendapatkan pengaruh dari teman sebaya (peer pressure), dan lain sebagainya. Ini bisa dilihat dari pengakuan Joker dalam film the Dark Knight Rises (2012) yang selalu berubah-ubah dan berbohong tentang asal-usul kegilaannya. Jadi, Joker adalah tokoh yang merayakan kegilaan dan keonaran dalam bentuknya yang paling murni.
Dalam khazanah filsafat, tokoh Joker melambangkan apa yang disebut sebagai kebudayaan Dionysian (Yasraf Amir Piliang, Hiperrealitas Kebudayaan, 1999), diambil dari nama dewa kegilaan dalam mitologi Yunani Dionysius. Inilah kebudayaan yang mengagungkan unsur permainan, kegilaan, emosi, kekacaubalauan, dan keacakan berpikir. Sekaligus, antitesis dari Budaya Apollonian yang terlalu rasional, tertib, dan serius, suatu budaya yang direpresentasikan oleh Batman sebagai detektif super yang
mendewakan akal.
Bisa dibilang, budaya Apollonian adalah bapak kandung modernitas yang mementingkan dominasi rasio atas kenyataan dan beranggapan bahwa segala sesuatu---termasuk kebenaran (Esse, Being, Truth)---memiliki hakikat universal lagi sejati yang hanya bisa dicapai melalui permenungan akalbudi. Buah dari modernitas ini adalah humanisme universal yang mendorong kemajuan teknologi, keseragaman nilai dan budaya, dan pengagungan manusia sebagai makhluk berakal atas alam semesta.
Sayangnya, humanisme universal juga memiliki efek buruk. Salah satu yang utama adalah rasionalitas sebagai sendi humanisme universal Apollonian ini tidak menyediakan sumber motivasi bagi solidaritas yang berasal dari keinsyafan mendalam bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan (F Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya, 2012). Ketiadaan solidaritas dan keasyikan dengan kebebasan individu ini pada gilirannya bisa menimbulkan ketimpangan ekonomi mendalam, kerusakan lingkungan karena kerakusan manusia, penggerusan individualitas unik manusia atas nama keseragaman, serta  hilangnya elemen spiritualitas.