Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Neoliberalisme dalam Segelas Teh Tawar Berbayar, Sebuah Telaah Fenomenologis

18 Januari 2025   09:05 Diperbarui: 18 Januari 2025   09:19 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto filsuf Gabriel Marcel (Sumber: psicoactiva.com)

Merasuknya materialisme serta hasrat akan laba dan kapital ke dalam individu-individu negeri ini menceraikan banyak nilai positif itu di atas dan menggantikannya dengan motif-motif serakah yang tak lagi memandang manusia sebagai makhluk berwajah. Melainkan, merujuk filsuf eksistensialis Gabriel Marcel dalam Man Against Mass Society (1952), hanya sebagai kumpulan fungsi-fungsi seperti konsumen dan objek pendatang uang alih-alih manusia yang perlu disapa. Ekstremnya, ‘penanda’ teh tawar berbayar
adalah indikasi dari penjerembaban harkat manusia alias dehumanisasi. Sebab, yang dipuja dan diberhalakan hanyalah komoditas. Itulah yang disebut banyak filsuf sebagai fetisisme komoditas.

Selain itu, penetrasi tajam kapitalisme neoliberal tak pelak membuat manusia menjadi pulau bagi dirinya sendiri. Neoliberalisme adalah ‘anak durhaka’ kapitalisme. ia melangkah jauh lebih ekstrem dari kapitalisme dan liberalisme klasik. Jika kapitalisme atau liberalisme klasik menganggap tenaga kerja (labor) sebagai pihak yang digunakan tenaganya dan diambil nilai lebihnya oleh pengusaha, maka neoliberalisme menganggap setiap pekerja sebagai pengusaha dengan tenaga dan kerja sebagai ‘produk jualan’ mereka.

Karenanya, pengusaha-pengusaha individual ini, yang menjadi atasan dan bawahan bagi mereka sendiri dengan pengusaha sebagai klien, diwajibkan mengurus diri sendiri jika terjadi kecelakaan atau menurunnya kualitas kesehatan mereka. Ibarat kata, negara semestinya tidak lagi mengurusi masalah kesejahteraan rakyat luas lewat konsep welfare care karena yang harus dianut kini adalah self-care di mana setiap orang mengurus dirinya sendiri. 

Akibatnya, manusia hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Sebab, sudah tidak ada lagi ruang dan waktu emosional untuk mengurusi orang lain. Jadi, lengkap sudah nasib manusia yang terceraikan dari fitrahnya sebagai makhluk sosial yang punya emosi dan kerinduan akan bersosialisasi secara beradab. Begitulah tergelarnya lakon muram keguyuban yang buyar dan larut dalam segelas teh tawar berbayar. Hal yang demikian remeh ternyata merupakan bencana bagi kita sebagai manusia dan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun