Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Neoliberalisme dalam Segelas Teh Tawar Berbayar, Sebuah Telaah Fenomenologis

18 Januari 2025   09:05 Diperbarui: 18 Januari 2025   09:19 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto filsuf Gabriel Marcel (Sumber: psicoactiva.com)

Saat ini, ada satu fenomena yang mungkin remeh tapi menarik apabila kita bersantap di warung-warung makan sederhana. Yaitu, segelas teh tawar yang biasanya gratis kini dihargai rata-rata Rp1.000-Rp2.000.  Juga, air putih yang tersaji dalam bentuk air kemasan memiliki bandrol harga serupa.

Hal menggelitik dari sini adalah bisa jadi inilah pertanda bahwa keguyuban (collectiveness) kita benar-benar buyar. Tanpa banyak orang sadari, warung makan sederhana seperti warung tegal (warteg), sejatinya merupakan benteng pertahanan terakhir bagi rakyat
kecil untuk mendapatkan hajat hidupnya yang paling hakiki, yaitu pangan. Apalagi di tengah melejitnya harga barang kebutuhan pokok sekarang ini.

Seringkali di warung kelas demikian, kita tak perlu memesan lauk-pauk dan menanyakan berapa harga totalnya seusai makan. Yang perlu kita lakukan hanyalah menyodorkan berapa banyak uang yang kita punya saat itu, misalnya Rp5.000 atau Rp 10.000, dan sang pemilik warung biasanya mengangguk penuh maklum seraya menyodorkan sepiring nasi putih berlauk sayur sederhana, kadang dengan sepotong tempe atau tahu, lengkap dengan air putih atau teh tawar gratis. Jadi, yang kita bayar hanyalah nasi dan
sayurnya, itu pun yang terakhir sering dianggap cuma-cuma.

Dari transaksi seperti ini, terciptalah satu perasaan saling memaklumi, bertoleransi, dan bersimpati. Kita sering menyebutnya sebagai keguyuban. Atau lebih universal lagi, sebagai persaudaraan (fraternite) yang merupakan batas minimal budaya keadaban warga (civic culture). Juga, salah satu sendi demokrasi warisan Revolusi Prancis selain kesetaraan (egalite) dan kebebasan (liberte).

Fenomenologi teh tawar

Diteropong dari perspektif fenomenologi—yang menurut filsuf Edmund Husserl merupakan suatu disiplin filsafat yang menelaah makna hakiki dari suatu fenomena dengan cara menangguhkan segala asumsi tentang fenomena yang dimaksud—nasi, sayur, teh tawar gratis, dan sodoran uang seadanya dari sang pembeli berkantong kempes (tongpes) sebenarnya menjalin apa yang disebut sebagai sistem tanda indikatif. Itulah rangkaian tanda yang mendapatkan maknanya karena tanda-tanda itu terjalin dalam sebuah jaringan yang dipahami oleh sebuah komunitas. Tanda di sini selalu berarti tanda untuk sesuatu, yaitu untuk komunitas yang memahaminya. Dalam hal ini, ‘tanda’ atau ‘penanda’ (sign atau signifier) teh tawar gratis sudah kadung berurat-akar sebagai perlambang atau petanda (signified) bagi uluran bermakna persaudaraan atau keguyuban di bawah himpitan hutan beton perkotaan yang dingin.

Di sisi lain, sistem tanda ekspresif adalah rangkaian tanda yang hidup karena digerakkan oleh maksud dari orang atau sekelompok orang yang memproduksikan tanda itu. Tanda di sini melulu tanda dari sesuatu. Berdasarkan ini, ‘tanda’ teh tawar berbayar jelas hanya memiliki satu ekspresi motif. Yakni, laba alias keuntungan karena toh pembuatan sekadar teh tawar jelas juga memerlukan biaya untuk air, gas untuk memasak air tersebut, ongkos pucuk-pucuk daun teh, dan nilai lebih (surplus) atau laba bagi sang
pemilik kedai makan demi pemupukan kapital (modal). Artinya, penetrasi materialisme yang mengutamakan untung-rugi dan rasionalitas penuh hitung-hitungan (kalkulatif) mendominasi, menggusur serta meluluhlantakkan fenomena-fenomena emosional seperti simpati, kasih sayang, dan keguyuban alias persaudaraan itu tadi.

Hal demikian lebih terasa lagi dalam kasus air kemasan. Sebab, materi gratis seperti air putih kini justru menjadi komoditas yang meniscayakan laba raksasa. Dalam konteks air putih kemasan, hal yang tadinya menjadi milik masyarakat umum (publik) seperti air putih kini menjadi milik segelintir orang (privat) demi keuntungan sempit. Alhasil, terciptalah kondisi di mana egoisme dan individualisme kian berkecambah.

Dengan kata lain, ‘penanda’ teh tawar—sekaligus air putih— berbayar adalah serangan langsung ke jantung pertahanan dan ketahanan peradaban bangsa ini. Yakni, warung-warung makan sederhana seperti warteg tempat unsur-unsur keguyuban, toleransi, dan simpati tumbuh subur.

Serangan neoliberalisme

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun