Sayangnya, paham fasisme liberal ini memiliki satu kelemahan mendasar. Yaitu, ia bisa menjerumuskan satu negara menjadi Negara Korporat (Corporate State) ala Mussolini di Italia masa silam. Maksudnya, karena pemulihan ekonomi diserahkan ke tangan para ahli, maka salah satu "kelas ahli" yang patut diajak adalah kelas teknokrat dan pengusaha. Akibatnya, penguasa bisa saja tergelincir bersekutu dengan pengusaha untuk menguntungkan hanya diri mereka sendiri sembari meminggirkan rakyat. Jadi, penerapan fasisme liberal akan lebih baik dilakukan pada masa krisis atau darurat dan bukan untuk dijalankan secara permanen.
Oleh karena itu, jangan sampai kita di Indonesia tergoda mempraktikkan demokrasi iliberal atau fasisme liberal. Â Lebih baik bagi kita mengikuti praktik-praktik demokrasi liberal yang menyerahkan kedaulatan di tangan rakyat dengan mengindahkan prinsip rule of law, kesejahteraan, dan penghargaan terhadap HAM. Memang, demokrasi liberal pun mengandung kelemahan, tapi sejauh ini ia tetap merupakan satu ideologi yang terbaik dari segala ideologi yang pernah dicoba. Tinggal, bagaimana kita mengadaptasi implementasi prinsip-prinsip demokrasi liberal itu sesuai dengan konteks budaya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H