Salah satu masalah klasik negeri ini adalah kesenjangan tajam terkait kepemilikan lahan. Data dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) pada 2022 menunjukkan level rasio gini pertanahan berada di kisaran 0,58, yang artinya masih timpang karena di atas 0,5. Kemudian, Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) mencatat pada 2021 bahwa 68 persen tanah di daratan Indonesia dikuasai oleh hanya satu persen kelompok pengusaha dan badan korporasi skala besar.
Ini memprihatinkan mengingat lahan atau tanah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mendirikan tempat tinggal, mencari nafkah seperti lewat kegiatan bertani, membangun fasilitas umum seperti rumah sakit, dan lain sebagainya.
Karena itu, reformasi agraria sesungguhnya menjadi niscaya dan peran utama semestinya dipegang oleh negara. Apalagi pasal 33 UUD 1945 sudah menyatakan "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Artinya, konstitusi kita memang memberikan mandat kepada negara untuk menguasai tanah demi kepentingan segenap rakyat Indonesia.
Untungnya, negara sudah menyadari mandat konstitusional tersebut. Sejak 2021, pemerintah membuat Badan Bank Tanah, yaitu badan khusus yang dibentuk oleh pemerintah pusat dan diberi kewenangan untuk mengelola tanah. Badan ini mengelola aset persediaan tanah yang diperoleh melalui tanah hasil penetapan pemerintah dan/atau tanah dari pihak lain. Tujuan pendirian Badan Bank Tanah ini adalah guna menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum; kepentingan sosial; kepentingan pembangunan nasional; pemerataan ekonomi; konsolidasi lahan; dan reforma agraria.
Di sisi lain, bagi saya pendirian Badan Bank Tanah bukan sekadar kepentingan ekonomis strategis. Melainkan, suatu keniscayaan filosofis sebagai perwujudan konkret sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Mengapa demikian? Sebab, Badan Bank Tanah persis menjadi manifestasi dari suatu teologi atau ajaran agama bernama Teologi Tanah.
Teologi Tanah
Menurut penggagasnya Hassan Hanafi dalam tulisan monumental "Pandangan Agama Tentang Tanah" (Prisma 4, April 1984), Teologi Tanah adalah semacam Teologi Pembebasan yang ingin membebaskan kemanusiaan dari segala jenis penindasan, baik dari alam maupun manusia. Menurut teologi ini, bumi alias Tanah merupakan padang tindakan manusia untuk memenuhi kebaktiannya dan melaksanakan kepercayaan yang diberikan Tuhan kepadanya.
Oleh karena itu, beriman yang baik berarti membangun Tanah. Artinya, Tanah hanya diberikan kepada mereka yang patuh pada Tuhan. Pewarisan Tanah bukanlah jatuh kepada orang tertentu untuk selamanya, melainkan berupa proses penggantian dari mereka yang tidak patuh pada Tuhan ke mereka yang patuh. Adapun salah satu tanda dari kepatuhan itu adalah mereka yang tidak pernah angkuh, apalagi menambahinya dengan tindak kekerasan.
Kerangka perspektif Teologi Tanah di atas membantu kita memahami bahwa Tanah bukanlah milik satu pihak saja, baik Negara maupun masyarakat setempat. Melainkan, Tanah haruslah didiami dan dikelola bersama-sama oleh pihak yang patuh kepada ajaran Tuhan dengan cara dialog penuh kearifan antara pihak yang berkepentingan terhadap Tanah. Jadi, bukan dialog tidak setara di mana salah satu pihak bersikap dominan berbekal kuasa modal.
Sekaligus, perspektif ini mampu menjembatani antara kepentingan pembangunan dan kepentingan pemeliharaan. Inilah dua kepentingan yang  terkesan berlawanan padahal sebenarnya saling melengkapi (Soerjanto Poespowardojo, Strategi Kebudayaan, Gramedia, 1993). Kepentingan pembangunan yang bercorak Barat memiliki kelebihan berupa sikap rasional kritis yang melahirkan teknologi bagi kemajuan dan kemudahan umat manusia, namun bersikap eksploitatif terhadap lingkungan serta kaku dalam pandangan hukum. Sementara kepentingan pemeliharaan yang bercorak Timur meletakkan manusia dalam kesatuan dengan masyarakat dan lingkungan, tapi berdampak pada kekurangmampuan memanfaatkan alam sekitar.