Salah satu fakta mengejutkan dalam dunia politik kita di awal tahun adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 62 pada 2 Januari 2025 yang menghapuskan presidential threshold (PT) 20 Persen bagi pencalonan Presiden. Sebelumnya, seorang calon presiden harus diusung oleh partai atau koalisi partai yang meraih 20 Persen kursi di DPR.
Mengejutkan karena ini membuat kontestasi pemilihan presiden (pilpres) 2029 bisa lebih ramai dan seru karena setiap partai akan dapat mengusulkan calon presiden (capres) mereka masing-masing. Namun lebih dari itu, penghapusan PT harusnya membuat kita mulai fokus pada salah satu masalah krusial dalam sistem politik kita: siapa pun Presiden di Indonesia, dia hampir dipastikan akan mengalami kesulitan menjalankan fungsinya secara maksimal. Â
Pasalnya, sistem presidensial di Indonesia harus berhadapan dengan realitas banyak partai (multipartai). Scott Mainwaring dalam "Presidentialism, Multipartism, and Democracy" (1993) menunjukkan hanya 4 dari 31 negara demokrasi stabil yang memiliki sistem presidensial. Bahkan, dari 4 negara itu, hanya satu yang berkombinasi dengan sistem multipartai, yaitu Cile, itu pun hanya bertahan dari 1933 ke 1973. Â Alasannya, kesulitan menghasilkan kekuatan mayoritas partai yang menguasai parlemen menjadikan sistem multipartai rentan menghasilkan polarisasi ideologis. Juga, koalisi permanen antarpartai lebih sulit dibentuk.
Secara singkat, ada tiga variabel yang menyebabkan ketidakstabilan sistem presidensial: mudahnya Presiden tersandera oleh koalisi kekuatan politik karena tidak adanya partai tunggal peraih suara mayoritas 50 persen plus 1; rentannya bentrokan keras antara begitu banyak ideologi dari beraneka partai; dan gampangnya partai terjerumus ke dalam pragmatisme yang lebih menghalalkan tercapainya tujuan ketimbang etika.
Karena itu, kita bisa lihat siapa pun Presiden di negeri ini hanya dapat memimpin secara efektif jika diusung oleh koalisi banyak partai. Amati saja bahwa sejak dari era pilpres langsung di Indonesia, partai seorang Presiden hanya meraih kurang dari 50 persen kursi DPR. Partai Demokrat di era pertama Presiden SBY (2004) hanya meraih 7,45 persen kursi dan di era kedua Presiden SBY (2009) mendapatkan 20,85 persen. Sementara PDI-Perjuangan di era pertama Presiden Jokowi (2014) menggaet 18,95 persen kursi dan di era kedua Presiden Jokowi (2019) meraup 22,6 persen, Sekarang, Presiden Prabowo Subianto memenangi pilpres dengan dukungan awal hanya 42 persen suara dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusungnya.
Maka itu, kita kemudian bisa membayangkan seorang presiden pasca penghapusan PT oleh MK akan menjadi presiden minoritas yang berhadapan dengan semakin banyak partai. Apalagi sebelumnya, MK juga mengabulkan gugatan Perludem untuk menghapuskan parliamentary threshold (PT) 4 persen bagi partai-partai politik peserta pemilu. Artinya, jumlah partai politik yang akan dihadapi seorang presiden juga berpotensi semakin banyak.
Keniscayaan seorang Presiden berhadapan dengan koalisi multipartai ini membuat Presiden secara realpolitik tersandera oleh kepentingan banyak partai. Kasar kata, seorang presiden rentan menjadi "petugas partai" atau "petugas koalisi." Salah satu wujud "ketersanderaan" itu adalah adanya semacam konvensi bahwa seorang Presiden harus membagi-bagi jatah kursi jabatan, entah itu menteri, komisaris BUMN, utusan khusus, dan lain sebagainya kepada para anggota koalisi. Artinya, unsur meritokrasi (pemilihan berbasis prestasi) sering dinomorduakan dari unsur kedekatan anggota koalisi. Alhasil, sulit bagi seorang Presiden untuk memilih orang-orang terbaik menurut pandangannya. Pragmatisme menjadi tolok ukur utama bagi pemilihan jabatan publik.
Bagaimana jika Presiden secara normatif memilih "berkoalisi" dengan rakyat tanpa memedulikan koalisi multipartai yang mengusungnya? Sang Presiden akan mendapatkan halangan dalam menjalankan kebijakannya. Sebab, sistem politik kita saat ini sangat legislative heavy alias condong memberikan kekuatan lebih kepada DPR yang berisikan kader-kader parpol. Mulai dari pemilihan pejabat publik, penyusunan anggaran, dan banyak hal lain membutuhkan persetujuan DPR. DPR juga punya hak angket dan mengajukan pendapat yang bisa merekomendasikan seorang presiden diadili di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menjalani proses pemakzulan (impeachment). Bahkan, jika Presiden menolak menandatangani satu Rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan DPR, UU itu tetap akan berlaku setelah 30 hari.
Solusi
Lantas, bagaimana solusi untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan kita pasca penghapusan PT oleh MK? Salah satu cara utama adalah dengan mengembalikan porsi yang seimbang dalam dinamika hubungan Presiden dan DPR. Sistem politik kita tidak boleh executive heavy seperti di era Orde Baru, tapi jangan pula legislative heavy seperti saat ini. Sehingga, Presiden bisa lebih firm mengeluarkan kebijakan tanpa perlu khawatir akan "diganggu" oleh partai-partai di DPR. Misalnya, Presiden memiliki hak untuk memveto suatu RUU yang diajukan oleh DPR. Hal ini diberikan untuk mengimbangi besarnya kekuasaan lembaga legislatif. Namun, untuk mencegah seorang Presiden menyalahgunakan hak vetonya, parlemen bisa membatalkan veto itu jika ada penolakan dari minimal dua pertiga suara di DPR. Ini merevisi praktik sekarang di mana Presiden hanya bisa menolak menandatangani suatu RUU, tapi RUU itu tetap akan diundangkan setelah 30 hari penolakan. Hanya saja, ini tentu membutuhkan proses amandemen Undang Undang Dasar (UUD) 1945.