Ada juga fenomena dinasti politik yang mampu menyebarkan keluarga-keluarga mereka ke berbagai posisi pemerintahan secara sah prosedural walaupun sebenarnya dinasti itu dikukuhkan di atas jejaring para orang kuat.
Realisasi agenda ketiga konsolidasi pun masih belum menggembirakan. Sebab, kita saksikan betapa kinerja pemerintah di bidang ekonomi belum berbuah manis. Yang ada justru kontroversi baru-baru ini seputar rencana pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.
Tebir Dekonsolidasi
Oleh karena itu, kita sesungguhnya sedang berada di tebir dekonsolidasi demokrasi. Itulah buah dari kegagalan deretan rezim transisi dalam mengelola ikhtiar konsolidasi demokrasi selama hampir tiga dasawarsa.
Akan tetapi, masih belum ada kata terlambat untuk memutar haluan. Caranya, kembali ke jalur trek yang benar dan mulai mengelola kedua agenda konsolidasi yang selama ini tercecer. Yaitu, penetrasi nilai demokrasi dan efektivitas kerja pemerintah atau radikalisasi demokrasi dalam istilah filsuf Jrgen Habermas. Radikalisasi demokrasi ini setidaknya bisa dilakukan lewat mengefektifkan
pendidikan karakter, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan politik sejak dini di berbagai tingkatan sekolah formal guna memperkuat literasi politik masyarakat. Dengan literasi politik yang kuat, masyarakat akan mampu mempraktikkan Republikanisme, yaitu paham di mana warga negara dapat terlibat aktif secara konstitusional dalam memengaruhi kebijakan negara dalam rangka mencapai kebaikan bersama (Robertus Robet, Republikanisme, Marjin Kiri, 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H