Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pantaskah di Indonesia Menanyakan Agama Orang? Teori Negara Pancasila Memberikan Jawabannya

16 Januari 2025   17:19 Diperbarui: 16 Januari 2025   17:19 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, di beberapa forum diskusi tentang hak asasi manusia (HAM) maupun di sejumlah tayangan kanal media sosial, mulai ada kalangan di Indonesia yang menyesalkan kebiasaan orang Indonesia yang sering menanyakan identitas agama lawan bicaranya. Mereka berpendapat bahwa agama atau keyakinan seseorang adalah urusan privat (pribadi) seseorang yang tidak perlu diketahui umum. Dengan kata lain, identitas agama seseorang tidaklah tergolong ke dalam wilayah publik. Seturut hal itu, kalangan ini beranggapan bahwa orang yang kerap mencari tahu identitas agama seseorang berarti tidak memahami konsep HAM maupun konsep agama sebagai wilayah privat. 

Hal ini ironis karena pendapat yang menyatakan agama itu murni wilayah privat dan bahkan tidak boleh untuk sekadar ditanyakan sejatinya sudah masuk ke dalam kategori pendapat sekular alias berorientasi sekularisme. Padahal, Indonesia dalam sejarah politiknya tidaklah mengenal sekularisme. Sesuai doktrin yang terkenal, Indonesia sebagai negara Pancasila "bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler."

Akar sekularisme

Sekularisme adalah paham yang bergandeng tangan erat dengan humanisme, yaitu paham yang menyatakan bahwa manusia adalah pusat alam semesta (antroposentris). Humanisme berangkat dari konteks peradaban Barat sebagai respons terhadap peran agama yang menyimpang karena menjadi sekadar tameng bagi penguasa lalim. Sentralnya peranan manusia berakibat pada sentralnya juga fakultas utama manusia, yaitu akal budi. Agama dipinggirkan hanya ke wilayah privat, sementara akal lebih memegang kendali atas segala sesuatu, termasuk ketika membicarakan masalah publik. Di sinilah, humanisme Barat menjadi humanisme sekuler.

Menyusul sekundernya peran agama, manusia memandang diri mereka setara satu sama lain sehingga memunculkan konsep HAM dan konsep demokrasi-liberal yang mementingkan kebebasan (termasuk kebebasan dari belenggu agama). Seiring munculnya konsep HAM, liberalisme, dan demokrasi inilah humanisme sekuler Barat bercita-cita menjadikan HAM dan sekularisme sebagai prinsip-prinsip universal.

Meski punya kelebihan, humanisme dan sekularisme menyimpan kelemahan serius. Merujuk Seyyed Hussein Nasr dalam Islam dan Nestapa Manusia Modern (Pustaka, 1983), pengutamaan akal budi yang berangkat dari pemberontakan terhadap yang sakral dan mengesampingkan agama akhirnya membuat manusia modern justru mengalami kehampaan spiritual. Alhasil, semakin manusia modern meraih kemajuan material, semakin jauh dia dari kebahagiaan. 

Teori Negara Pancasila

Apabila sekularisme gagal membawa kebahagiaan bagi manusia, apakah kita di Indonesia mau membebek pada paham itu? Artinya, apakah kita memutuskan untuk menjadi sepenuhnya terbaratkan dengan mengatakan agama itu murni urusan pribadi seseorang, yang orang lain tidak boleh tahu? Jika demikian, bukankah interaksi publik kita akan menjadi sangat kaku, dingin, dan serius sesuai khittah humanisme sekuler yang mengutamakan rasio?  

Di sinilah Teori Negara Pancasila terkait relasi agama dan negara menjadi penting. Merujuk As'ad Said Ali dalam Negara Pancasila (LP3ES, 2009), Pancasila tidaklah menganut sekularisme, melainkan generally religious policy. Artinya, secara umum negara dibimbing oleh agama serta tidak memiliki kaitan institusional dengan tradisi keagamaan tertentu. Lebih lanjut, paradigma Pancasila ini memiliki lima prinsip. Pertama, prinsip no preference alias peduli tapi tidak diskriminatif. Kedua, prinsip tasamuh atau toleransi di mana setiap individu harus membiarkan penganut agama lain menyatakan dan menerapkan keimanannya (toleransi pasif) atau ikut membantu melaksanakan keimanan pihak liyan itu (toleransi aktif).

Ketiga, prinsip ta'addudiyah alias pluralitas yang meniscayakan praktik ta'aruf atau proses mengenal dan mengakui adanya keragaman. Keempat, prinsip tawasuth (mencari jalan tengah) yang berujung pada Pancasila sebagai moderasi alias jalan tengah antara negara agama dan negara sekuler. Kelima, prinsip tawazun atau keseimbangan, yang meniscayakan kebebasan individu harus disertai dengan sikap menghomati dan menjaga kebebasan individu lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun