Selama ini, perdebatan pemikiran soal mazhab ekonomi atau sistem ekonomi di Indonesia selalu terombang-ambing antara kapitalisme dan sosialisme. Kalaupun ada diskusi tentang jalan tengah seperti Sistem Ekonomi Pancasila (SEP), para pemikir kemudian tertumbuk pada aplikasi konkret dari SEP tersebut. Padahal, ada satu jalan tengah lain yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan sudah mulai menemukan wujud konkret, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos).
Panorama teoretis
Latar belakang kemunculan epasos di Indonesia adalah keinginan negeri ini keluar dari jebakan kapitalisme maupun sosialisme dalam menata ekonomi. Hendrawan Supratikno dalam Globalisasi, Ekonomi Konstitusi, dan Nobel Ekonomi (KPG, 2019) menyebutnya sebagai ekonomi pragmatis yang tidak terlalu ideologis, melainkan plastis menyesuaikan strategi ekonomi dengan kebutuhan situasi. Kapitalisme dengan ekonomi pasar dianggap terlalu bersendi pada keserakahan dan orientasi laba tanpa memikirkan pertimbangan moral seraya meminimalkan peranan negara. Sementara itu, sosialisme memasung kreativitas individu akibat sistem ekonomi komando yang serba sentralistis dan memberikan porsi berlebihan pada negara, sehingga berpotensi korup.
Keinginan itulah yang melahirkan tekad supaya Indonesia menerapkan epasos sebagai mazhab Jalan Tengah. Inilah sistem ekonomi yang menghargai hak milik, kombinasi usaha individual dan masyarakat serta keragaman aktivitas ekonomi. Epasos meletakkan supremasi demokrasi dan konstitusi sebagai pemandu ekonomi suatu negara serta sebagai basis pembebasan manusia dari penindasan dan ketimpangan. Pranata negara dianggap memiliki peran penting dalam melindungi dan mengembangkan masyarakat secara memadai melalui asuransi sosial, skema pendanaan untuk masyarakat, penetapan cadangan komoditi atau modal, dan lain
sebagainya. Di sini, menurut Yudi Latif dalam Negara Paripurna (Gramedia, 2011), epasos cocok dengan nilai-nilai Pancasila karena peran negara dalam ekonomi itu aktif, tapi tidak menindas keragaman.
Kemudian, Jimly Ashhidique dalam Konstitusi Sosial (Penerbit Kompas, 2018) menguraikan bahwa negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 bukan sekadar menganut doktrin negara kesejahteraan (welfare state), melainkan negara kesejahteraan sosial
(social welfare state). Inilah doktrin yang menerima kenyataan adanya orang kaya dan orang miskin berdasarkan prinsip ko-eksistensi damai, tapi jarak sosial di antara keduanya diidealkan tidak terlalu jauh menurut standar-standar keadilan sosial yang bersifat universal. Negara Kesejahteraan Sosial ini disebut juga “negara hukum berkeadilan sosial” yang meyakini moralitas agama sesuai sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” seraya mengembangkan sistem norma hukum dan etika berdasarkan Pancasila tersebut. Artinya, negara bersama rakyat membangun sistem norma hukum dan etika sembari menegakkannya secara konsisten. Dengan
begini, tindak kejahatan seperti korupsi, kartel bisnis, penimbunan barang, dan sebagainya, akan bisa diatasi.
Ini berarti bahwa epasos mengajak semua komponen negara untuk bergotong-royong mewujudkan perekonomian nasional yang tangguh dan berkeadilan untuk semua. Negara tidak memegang peranan sentral seperti dalam sosialisme, tapi juga tidak lepas tangan terhadap hajat hidup masyarakat sebagaimana dalam kapitalisme. Kebebasan tetap dijunjung tinggi, namun dengan melindungi mereka yang lemah tidak hanya lewat kebijakan pengaman sosial ala subsidi yang kerap meninabobokan inisiatif warga dan membebani negara, tapi lewat kebijakan konkret yang bisa mengangkat harkat warga sendiri untuk mandiri.
Kebijakan konkret
Bagaimanakah bentuk kebijakan konkret epasos? Setidaknya ada empat. Pertama, negara memberlakukan kebijakan pajak berkeadilan untuk melakukan redistribusi pendapatan secara lebih baik. Pihak mampu membayar pajak lebih tinggi supaya hasilnya bisa dialirkan kembali dalam bentuk berbagai paket bantuan dan asuransi sosial bagi masyarakat tidak mampu. Penataan data tentang masyarakat tidak mampu juga harus ditertibkan supaya penerima bantuan sosial adalah sungguh mereka yang memang membutuhkan dan berhak menerimanya.
Kedua, negara mesti menciptakan kesetaraan kesempatan bagi seluruh warga negara untuk berusaha. Caranya, negara menciptakan kemudahan iklim usaha, tata kelola pemerintahan yang baik untuk meminimalkan praktik koruptif dan birokrasi berbelit, bantuan lunak untuk mengembangkan UKM, dan pembangunan infrastruktur dasar guna memudahkan inisiatif kewirausahaan.
Ketiga, peran warga sebagai aktor yang ikut mengurus perekonomian dioptimalkan lewat rangsangan moral agamis untuk menggalakkan kegiatan filantropi (beramal) kepada sesama, seperti kegiatan zakat, donasi, dan lain sebagainya. Karena itu, tata kelola lembaga pengumpul dan penyalur dana filantropis (Yayasan, badan amil zakat, lembaga donasi daring maupun luring)
mesti diperkuat guna meminimalkan penyimpangan.