Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Relasi Agama dan Negara, Ada Tiga Cara Pancasila Memandangnya

15 Januari 2025   11:02 Diperbarui: 15 Januari 2025   10:06 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Garuda Pancasila (Sumber: perpustakaan.id)

Dalam perdebatan di berbagai forum soal Pancasila, hubungan antara agama dan negara adalah tema yang selalu ramai. Relasi keduanya sering antagonistis karena Pancasila seakan-akan dipandang sebagai 'tandingan' bagi agama. Oleh karena itu, kita perlu membuat semacam peta diskursus pemikiran Pancasila tentang isu relasi agama dan negara ini.

Salah satu diskursus yang mengemuka adalah "Pancasila sebagai agama publik". Menurut Syaiful Arif dalam Islam, Pancasila dan Deradikalisasi (Elex Media, 2018) kecenderungan gerakan-gerakan radikal berbasis agama yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis agama (teokrasi) sudah sampai ke taraf menggelisahkan. Ia kemudian mengajukan solusi Pancasila sebagai agama publik. Pancasila adalah rumusan teologis yang justru merupakan pancaran nilai-nilai agama, sehingga kesangsian terhadap Pancasila atas nama Tuhan adalah tanda "rabun ruhani."

Tesis agama publik bisa diringkaskan dengan sejumlah kata kunci: sekularitas, toleransi kembar, dan diferensiasi. Menurut Muchamad Ali Safaat dalam Dinamika Negara dan Islam (KonPress, 2018, hlm.299), Pancasila adalah institusionalisasi sekularitas Indonesia di mana agama tidak lagi menjadi faktor dominan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, melainkan harus berkompetisi dengan pandangan lain. Tesis diferensiasi sementara itu berpendapat bahwa antara agama dan negara tidak dipisahkan, tetapi dibedakan. Adapun pembedaan itu dilakukan berdasarkan otoritas masing-masing yang disebut dengan toleransi kembar (twin toleration).

Selanjutnya, agar toleransi kembar dapat tercapai, keterlibatan institusi agama dalam masyarakat politik harus tunduk para prinsip public reason (nalar publik) dan public deliberation (diskusi publik). Ajaran agama boleh saja memberikan inspirasi namun harus diformulasikan secara substansial agar memenuhi legitimasi demokratis yang rasional. Suatu keputusan publik dianggap rasional jika didasarkan atas fakta (bukan doktrin semata), diorientasikan pada kepentingan publik jangka panjang, dan melibatkan partisipasi semua kalangan.

Pancasila sebagai Etika

Karena istilah agama publik terlalu kontroversial tampaknya, beberapa tokoh berupaya menggagas diskursus Pancasila sekadar sebagai etika publik. Petrus Danan dalam Mengamalkan Pancasila dalam Terang Iman Katolik (Kanisius, 2018, hlm. 8), misalnya, mengajukan tesis bahwa doktrin Kristus tentang Kerajaan Tuhan (Kingdom of God) semestinya dimaknai secara substantif. Yaitu, dengan tidak memahaminya sebagai pendirian negara Katolik, melainkan sebagai perintah untuk menegakkan prinsip-prinsip ketuhanan di dalam masyarakat (Kingship of God). Artinya, yang terpenting dalam pengamalan agama di dalam negara bukanlah doktrin legalnya, melainkan prinsip-prinsip etis ketuhanan.

Diskursus Katolik sebenarnya banyak mengambil dari pendapat Romo N. Drijarkara. Merujuk pada antologi Pancasila sebagai Kekuatan Pembebas (Kanisius, 2012, hlm.108), ada lima poin pemikiran Drijarkara yang diadopsi terkait relasi agama (religi). Pertama, Pancasila mendorong kita ke arah religi. Sebab, jika sila-sila itu diperas akan menghasilkan satu rumusan: cinta kasih dan ini tak bertentangan dengan spiritualitas agama mana pun.  Kedua, Negara didirikan atas dasar semangat gotong-royong demi kesejahteraan dan kemakmuran umum. Dan falsafah ini akan kokoh bila didasarkan pada sila pertama. Bagi Drijarkara, aktualisasi sila pertama harus disesuaikan dengan kekhasan penghayatan religi masing-masing. Ketiga, atas dasar itu, penghayatan keagamaan tidak boleh dipaksakan. Negara tidak boleh campur tangan terhadap religi. Ini berkaitan dengan hak individu yang berakar pada kemerdekaan mengekspresikan keyakinan.  Keempat, Negara bukan negara agama, tapi juga bukan negara profan (tidak kudus). Kelima, rumusannya bukan sebuah metode aplikatif. 

Dari pendapat ini, kita bisa melihat bahwa sila Ketuhanan yang Maha Esa dalam doktrin Katolik bersifat netral agama alias tidak merujuk pada satu agama tertentu. Bahkan, Ketuhanan dianggap sebagai prinsip etis, sehingga lebih merujuk pada rasa Ketuhanan. Artinya, aliran kepercayaan bisa saja digolongkan ke dalam rasa Ketuhanan. Itulah sebabnya mereka yang menganut pendapat seperti ini condong menerjemahkan Ketuhanan dengan Belief in Supreme Being. Berbeda dengan mereka yang menafsirkan Ketuhanan sebagai merujuk pada agama mapan (organized religions). Kata Ketuhanan untuk kelompok ini biasa diterjemahkan sebagai Belief in One God. Contoh ini bisa dilihat dalam terjemahan UUD 1945 versi amandemen dalam disertasi Denny Indrayana, Indonesian Constitutional Reform (Penerbit Buku Kompas, 2008).

Masih dalam koridor pandangan umat Kristiani, Martin Lukito Sinaga dalam artikel "Komitmen Kebangsaan" (dalam Rindu Pancasila, Kompas, 2010) mengemukakan bahwa modus rohani Kekristenan berupa Kerajaan Kristen (Christendom) tidak kompatibel dan telah gagal diterapkan di Indonesia pada masa kolonial. Umat Kristiani pribumi di Indonesia pada 1950 menyadari dan memutuskan untuk
bersama-sama menempuh sejarah baru berupa gerakan keesaan gereja (oikumene), sehingga sejak itu sejarah gereja Indonesia berubah menjadi sejarah bersama mencari akar dalam konteks kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika pada 1984 Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengizinkan dua arus menetap dalam perkembangan dirinya: arus iman Kristen selaku dasar hidupnya dan Pancasila selaku asas dalam ia berkarya di masyarakat dan bangsa Indonesia.

Berpindah ke agama Hindu, Raka Santeri dalam "Masyarakat Pancasilais" (dalam Rindu Pancasila, Kompas, 2010) mengamini Pancasila sebagai landasan etis. Sebab, mewujudkan masyarakat Pancasilais termasuk dalam tujuan agama Hindu: mokshartham jagathita atau membangun kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah. Di sini akan terjalin Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan manusia, serta antara manusia dan alam lingkungannya.

Teodemokrasi
Jika kita lihat, perdebatan soal relasi agama dan negara seakan terbatas pada dua kutub saja: teokrasi dan sekularisasi. Padahal, ada satu istilah lagi: teo-demokrasi atau demokrasi berketuhanan atau demokrasi berbasis agama. Menurut Almich Alhumami dalam "Demokrasi Berbasis Agama dan Demokrasi Sekuler" (Negara Sekuler: Sebuah Polemik, Putra Berdikari Bangsa, 1999), negara berbasis agama dapat saja meretas jalan menuju demokrasi. Sebab, ajaran agama mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan demokrasi.  

Perspektif teodemokrasi sejatinya menarik ketika kita melihat realitas politik Indonesia yang diramaikan penerapan perda syariah. Alih-alih pendapat umum bahwa perda syariah tidak sesuai dengan Pancasila, penelitian UIN Jakarta yang dibukukan dalam Politik Syariat Islam (LP3ES, 2018) di lima daerah penerap perda syariah di Jawa Barat justru menunjukkan bahwa perda syariah---khususnya di Tasikmalaya---sesungguhnya hanya ikhtiar bagi hadirnya kebijakan hukum dan moralitas yang lebih kuat dengan memberikan warna keislaman yang lebih tegas. Di Tasikmalaya, penerapan perda tidak mengarah pada pembentukan negara Islam, sementara di tempat lain dalam penelitian, perda syariah menjadi semacam komoditas politik semata untuk memenangi kontestasi kepala daerah. Dengan kata lain, teodemokrasi di tingkat daerah sejatinya dimungkinkan tanpa mengganggu aspek ontologis (esensi
pengada) maupun aksiologis (penerapan) Pancasila. Inilah jalan tengah yang dulu diringkaskan oleh Prof Mukti Ali dengan mengatakan bahwa 'Indonesia bukan negara agama, tapi juga bukan negara sekuler.

Sebagai penutup, lanskap relasi agama dan negara dalam diskursus Pancasila bisa diringkaskan sebagai berikut. Pertama, tafsiran teokrasi yang ingin memformalkan syariat Islam dalam politik nasional. Kedua, sekularitas atau sekularisasi yang menganut prinsip perbedaan bukan pemisahan. Ketiga, teo-demokrasi yang ingin menyuntikkan ajaran agama, tapi bukan satu agama tertentu, ke dalam sistem politik demokratis. Adapun perwujudan konkret dari teodemokrasi dipandang dari segi kebijakan sedang berproses mencari bentuk yang pas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun