Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pancasila Tidak Sekadar Punya Lima Sila, Tapi Juga Memiliki Lima Varian Yang Jarang Diketahui

15 Januari 2025   08:30 Diperbarui: 15 Januari 2025   07:29 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah negara dengan kemajemukan luar biasa, termasuk dari segi ideologis, tapi semua itu tetap bekerja dan bernaung di bawah dasar filsafat negara Pancasila. Artinya, terlepas dari begitu banyaknya ideologi yang berseliweran dalam diskursus publik kita, ada satu hal yang bisa kita camkan: segala spektrum ideologis yang ada pada umumnya merupakan perwujudan dari ragam tafsir terhadap Pancasila.

Lima varian

Merujuk disertasi filsafat Mhd Halkis di Universitas Indonesia, Konstelasi Politik Indonesia (Buku Obor, Jakarta, 2017), konstelasi ideologi politik di Indonesia dari zaman kemerdekaan hingga saat ini sejatinya merupakan cerminan dari tafsir mereka terhadap ideologi nasional, Pancasila. Inilah ideologi yang dirumuskan kali pertama istilahnya oleh Sukarno pada 1 Juni 1945 dan kemudian dimatangkan rumusannya hingga disahkan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945. Tafsir-tafsir itu lantas bisa dipecah menjadi lima varian.

Pertama, varian tafsir kaum nasionalisme radikal utopis (kelompok kanan). Penganut ideologi ini mewacanakan sikap patriotis (cinta bangsa), tapi tak sepakat dengan ideologi Pancasila. Karena itu, mereka bercita-cita merebut kekuasaan dan mengganti ideologi negara lewat pendekatan non-kooperatif (seperti pemberontakan) dengan pemerintah. Contoh dari penganut varian ini adalah gerakan pemberontakan Negara Islam Indonesia (NII) di bawah pimpinan Sekar Maridjan (S.M.) Kartosuwiryo yang ingin menggantikan ideologi Pancasila dengan Islam.

Kedua, nasionalisme radikal non-utopis (kelompok kiri). Ciri ideologi ini sama dengan nasionalisme kanan, tapi penganut ideologi ini lebih mau bekerja sama (kooperatif) dengan pemerintah. Sebagai contoh, Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah partai yang ingin menggantikan Pancasila dengan ajaran komunisme atau Marxisme-Leninisme. Hanya saja, mereka melakukannya dengan cara siasat
merayap dan tidak mempermasalahkan keikutsertaan dalam pemerintahan.

Dalam sejarah Indonesia, PKI di era Orde Lama adalah peserta pemilu yang sah pada 1955. Di ajang itu, mereka bahkan menduduki posisi empat besar dan masuk ke dalam pemerintahan Sukarno. Akan tetapi, pada era ini para elit PKI mulai mengajukan tafsir yang menyalahi semangat Pancasila.

Misalnya saja, Aidit pernah menafsirkan bahwa sila pertama itu sesungguhnya bukan imperatif (keharusan) bagi warga negara untuk bertuhan, melainkan imperatif bagi mereka yang bertuhan untuk menoleransi orang yang tidak bertuhan (Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Gramedia, 1991). Aidit pun mengusulkan sila pertama perlu diganti dengan "Kemerdekaan bertuhan."

Ketiga, Pancasila konservatif. Tafsir jenis ini lebih mengandalkan nostalgia masa lalu dengan mengatakan bahwa nilai-nilai ideal bangsa ini datang dari kebudayaan masa lampau, seperti dari kebudayaan kerajaan Nusantara. Pengusung terdepan tafsir ini adalah Soepomo.

Keempat, Pancasila moderat. Inilah varian tafsir Pancasila yang berambisi mengakomodasi unsur-unsur berbeda demi mencapai konsensus. Sukarno adalah tokoh garda depan tafsir ini. Dalam pidato 1 Juni 1945 "Lahirnya Pancasila", Sukarno mengutip khazanah pemikiran dari Tiongkok, Jerman, Nusantara, Islam, Amerika, dan lain sebagainya dalam merumuskan Pancasila yang, menurutnya, akan menjadi dasar bagi "negara Indonesia merdeka ... yang bukan mementingkan suatu golongan saja."

Kelima, Pancasila progresif. Varian tafsir terakhir ini bertujuan menjadikan Pancasila sebagai alat mencapai tujuan, seperti pembangunan ekonomi. Pendukung tafsir ini adalah Suharto yang kemudian dalam sejarah kita tahu justru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menciptakan kestabilan politik semu dengan cara represif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun