Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kita Harus Bangga Punya Pancasila, Ideologi Besar yang Sejajar dengan Ideologi-Ideologi Lain

14 Januari 2025   21:37 Diperbarui: 14 Januari 2025   21:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau kita runut, setiap bangsa besar umumnya memiliki filsafat yang mapan (grand philosophy) di baliknya. Sebagai contoh, China memiliki Konfusianisme, India terkenal dengan Hinduismenya, Amerika kondang dengan spirit liberalisme-sekulernya, dan aneka ragam contoh lain. Abdulkadir Besar dalam buku Pancasila (Pustaka Azhary, 2005) menyebut ini sebagai relasi heuristis ideologis atau keterkaitan antara filsafat, ideologi, dan aksi.

Beranjak dari logika itu, Indonesia jelas punya modal kuat untuk menjadi bangsa adidaya yang tak kalah dari negara-negara di atas. Pasalnya, kita memiliki Pancasila yang memiliki tiga kedudukan sekaligus: dasar negara, dasar filsafat negara (philosofische grondslag), dan filsafat. Merujuk Soerjanto Poespowardojo dalam Filsafat Pancasila (Gramedia, 1986), Pancasila sebagai dasar negara merupakan peran yuridis Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Kemudian, Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah pandangan-dunia(world-view) yang memberikan orientasi perilaku psikologis maupun kolektif bangsa di segala bidang.

Terakhir, Pancasila sebagai filsafat adalah peran Pancasila yang secara sadar diniatkan oleh para perumusnya sebagai ideologi terbuka bangsa. Ini jika kita merujuk pada pengertian filsafat sebagai "pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang semua lapangan kenyataan" (Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, 1995) yang juga memiliki sifat kritis dan radikal (tuntas sampai ke akar-akarnya). Artinya, Pancasila membuka diri bagi tafsir kritis terhadap semua sila-silanya yang
bersifat saling terkait dan menjalin satu kesatuan utuh.

Ideologi Terbuka

Alhasil, Pancasila adalah ideologi cum (sekaligus) pandangan-dunia cum filsafat besar yang dinamis (senantiasa berubah) dan responsif (tanggap menghadapi perkembangan zaman). Dengan kata lain, Pancasila adalah ideologi besar nan terbuka yang sifat keterbukaannya itu didorong oleh semangat filsafat yang senantiasa menggugat, mempertanyakan dan mengkritik.
Ini tentu berbeda dibandingkan ideologi-ideologi lain yang terbukti sudah berangsur hilang dalam sejarah. Merujuk Paul M. Johnson dalam Kamus Ekonomi Politik Modern (terjemahan, Teraju, 2003), ideologi adalah "suatu keyakinan yang komprehensif (menyeluruh/total) dan koheren berkenaan dengan urusan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang dianut oleh sekelompok besar orang dalam suatu masyarakat." Namun, menurut hemat penulis sebagai tambahan bagi definisi ini, pengertian ideologi Johnson lebih mengacu pada ideologi berjenis tertutup karena sifat ideologi tersebut yang merasa sudah total, sehingga diasumsikan bersifat final.

Finalitas dalam ideologi tertutup inilah yang lantas melahirkan ideologi kebal-kritik yang kerap diselewengkan oleh rezim untuk melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika ada pihak-pihak kritis yang berseberangan dengan rezim penguasa ingin mengajukan tafsir alternatif terhadap ideologi resmi, rezim pun tak segan-segan mengerahkan aparat negara untuk membungkam suara-suara kritis tersebut. Konsekuensi logisnya, terciptalah suatu tatanan sosial-politik otoriter yang cepat atau lambat akan memicu resistensi massa dan pemberontakan yang biasa berujung pada tergulingnya rezim otoriter tersebut. Demikianlah yang bisa kita lihat dari keruntuhan ideologi fasisme yang dipraktikkan Jerman, Jepang dan Italia di paro pertama abad ke-20. Cerita yang sama juga tergelar dalam bangkrutnya komunisme Uni Soviet pada penggal awal 1990-an. Atau, pada jatuhnya rezim otoriter negara Islam di
Yaman, Libya dan lain-lain akibat fenomena Musim Semi Arab (Arab Springs) pada era 2010-an.

Berbekal Filsafat Pancasila, kita bisa senantiasa membuat Pancasila sebagai ideologi besar yang tetap relevan dengan konteks kekinian. Sebab, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila dimutakhirkan lagi agar tampil dengan wajah segar yang tanggap terhadap perubahan zaman.  Filsafat Pancasila membuat Pancasila sebagai ideologi terus mengalami revitalisasi (penggairahan) sekaligus rejuvenasi (pembangkitan) nilai-nilai luhurnya, sehingga ia akan terus mapan dan besar.

Sebagai contoh konkret, masukan kritis filsafatlah yang membuat Indonesia bisa mendamaikan tuntutan sila ketiga---Persatuan Indonesia---yang meniscayakan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan tantangan gelombang ancaman separatisme akibat ketidakpuasan sejumlah daerah, seperti Aceh dan Papua, untuk memisahkan diri dari NKRI. Alih-alih mengubah sila ketiga itu, penalaran filsafat justru memberikan suluh jalan tengah berupa konsep otonomi daerah yang bermula sejak 1999: NKRI tetap harga mati, akan tetapi setiap daerah mulai dari provinsi hingga kabupaten/kota memiliki otonomi sangat luas yang mencakup hak memilih pemimpin secara langsung lewat pemilihan kepala daerah (pemilukada), hak mengelola anggaran sendiri, dan lain sebagainya.

Artinya, Pancasila sebagai ideologi besar tetap utuh dari segi nilai-nilai inti (core values) dan bangunan sila-silanya yang kait-mengait secara logis, namun tafsir dan implementasinya begitu dinamis untuk secara jitu menyesuaikan diri dengan realitas lapangan. Itulah hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka yang terbukti---terlepas dari segala kekurangan---mampu membuat bangsa Indonesia bertahan hingga saat ini.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun