Di tengah begitu banyak perpecahan dan konflik yang melanda dunia ini secara global, sering kali konflik itu bermotif agama, muncul anggapan bahwa inilah tanda bahwa Bumi mengalami defisit cinta. Memang, cinta harus dilihat secara teologis-filosofis guna menjadikannya satu elan kreatif yang inspiratif, mencerahkan, sekaligus berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Tulisan ini ingin memaparkan betapa dua agama tebesar di dunia mampu memberikan perspektif mendalam lagi konkret tentang cinta yang berguna untuk mewujudkan perdamaian di dunia. Pertama, agama Kristiani. Sebagaimana dikemukakan Mahnaz Heydarpoor dalam tesis M.A.-nya di Metropolitan University, Manchester, Wajah Cinta (terjemahan, Arasy Mizan, 2004), cinta-kasih adalah kebajikan yang paling utama dibandingkan dua kebajikan lain dalam Kristen: iman dan pengharapan. Karena itu, inti ajaran Kristen adalah cinta-kepada-Tuhan dan cinta-kepada-sesama-manusia. Logikanya adalah, orang yang mencintai orang lain berarti dia sedang mencintai dirinya sendiri. Artinya, orang itu mencintai orang  lain sebagai sesama manusia yang sama-sama diciptakan Tuhan. Dengan demikian, mencintai pribadi lain sebagai ciptaan Tuhan serupa dengan mencintai Tuhan.
Beranjak dari kasih kepada orang lain itu, St. Agustinus lantas mengatakan manusia yang mencintai Tuhan tidak akan melakukan segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak-Nya dan mengerjakan segala sesuatu yang disenangi-Nya. Dengan kata lain, manusia yang mencintai Tuhan adalah pribadi yang taat terhadap hukum-hukum Tuhan, termasuk perintah dan larangan-Nya.
Dalam bahasa Injil, cinta tertinggi kepada sesama manusia sebagai perwujudan cinta kepada Tuhan inilah yang dinamakan agape. Makna religius dan filosofis dari istilah ini adalah "dinamisme jiwa yang melampaui segala" atau "hasrat ideal untuk memperoleh kebaikan spiritual dan intelektual tertinggi" (Britannica, 1977). Dalam bahasa Latin, agape diterjemahkan sebagai caritas, kemudian menjadi charity dalam bahasa Inggris untuk bermalihwujud menjadi love.
Karena itu, agape dalam ajaran Kristiani adalah kekuatan atau etos yang mewajibkan manusia untuk memberikan kemurahan hati tanpa pamrih kepada sesama sehingga cinta itu kemudian akan mentransformasi sang pencinta sebagai bagian dari agape Tuhan. Oleh karenanya, kemurahan hati tidak memerlukan balasan dari objek kebaikan. Transformasi diri sang pencinta menjadi bagian dari Tuhan itulah yang justru sudah menjadi ganjaran alias pahala tersendiri.
Kedua, agama Islam. Konsep cinta di dalam Islam juga memegang peranan sentral. Merujuk pada tesis magister ilmu agama Abdul Halim Rofi'ie di IAIN Syarif Hidayatullah, Cinta Ilahi (Srigunting, 1997), sufi perempuan Rabi'ah al-Adawiyah adalah orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Bagi Rabi'ah, hidup adalah cinta, yaitu cinta terhadap semua manusia, cinta kepada seluruh alam karena dia adalah ciptaan Allah, cinta terhadap ketentuan dan takdir Allah karena keduanya adalah ketetapan yang mulia dari Allah. Jadi, cinta ilahi adalah sumber hakiki yang membentangkan seluruh alam dan membentang pada setiap bulir kehidupan.
Oleh karena itu, inti ibadah dalam Islam adalah hubungan cinta hamba dengan Tuhan-Nya dalam bentuk rindu, mesra, dan rida. Adapun tingkatan yang harus dilalui dalam mencapai cinta sejati itu adalah bertobat terus-menerus atas segala dosa (taubat), mengerem nafsu rendah akan materi dan aspek duniawi (zuhud), ikhlas menerima segala kejadian yang menimpa manusia (ridha), selalu bersyukur kepada Allah atas segala hal yang terjadi kepada manusia (muraqabah), dan beribadah tanpa pamrih apa pun selain
mengabdi kepada Allah (mahabbah). Perjalanan cinta dalam Islam berpuncak pada mahabbah, di mana manusia beribadah tidak lagi karena mengharapkan surga atau ingin menghindari neraka. Melainkan, karena sudah terlalu masyuk dalam cinta dan rindunya untuk berjumpa dengan Tuhan.
Kalimatus sawa'
Dari uraian di atas, kita lihat betapa konsep agape dalam ajaran Kristiani dan konsep mahabbah dalam doktrin Islam memiliki kemiripan. Yaitu, keduanya sama-sama menggarisbawahi betapa cinta eskatologis kepada Tuhan yang tampak abstrak seyogianya dikonkretkan dalam bentuk cinta dan rasa toleransi penuh empati terhadap sesama umat manusia. Sebagai pahala tertingginya, kecintaan besar kepada sesama manusia itu akan berbalik menyempurnakan penerimaan manusia terhadap cinta abadi Tuhan.
Berbekal kesamaan ini, kita bisa mengatakan bahwa konsep cinta adalah sebuah platform umum (common platform) atau titik temu bersama (common denominator) bagi kedua agama. Atau, meminjam terminologi Islam, cinta adalah salah satu konsep pemersatu (kalimatus sawa') perennial (substantif nan abadi) bagi kedua agama besar ini. Hikmah dari kesamaan ini adalah umat manusia seyogianya tak perlu lagi saling bertikai dan membesar-besarkan perbedaan di tataran formal atau permukaan. Sebaliknya, umat manusia bisa saling bekerja sama dan mengembangkan spirit toleransi demi mencapai kehidupan yang lebih baik dan damai di dunia serta menggapai keridaan Tuhan Sang Pencipta Alam Semesta.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H