Meski sudah melandai, kekerasan berbasis agama tetap menjadi potensi ancaman yang mesti kita waspadai. Salah satu cara mewaspadainya adalah dengan melakukan aksi pendeteksian dini melalui berbagai piranti. Salah satu piranti teoretis yang bisa digunakan untuk memprediksi risiko kekerasan semacam itu adalah teori mobilisasi kekerasan. Ini adalah temuan disertasi Julie Chernov Hwang yang ia gunakan untuk menganalisa potensi mobilisasi kekerasan oleh gerakan Islamis (dibukukan menjadi Umat Bergerak, Freedom Institute, 2011). Menurut teori ini, mobilisasi kekerasan bisa diprediksi dan dipetakan berdasarkan dua variabel, yaitu partisipasi politik dan kapasitas negara. Definisi negara dengan partisipasi politik (partisipatoris) ideal bukan hanya sebatas negara yang berhasil melangsungkan pemilu, tapi juga mampu menciptakan atmosfer kondusif bagi partai-partai politik (parpol) dan organisasi sipil untuk muncul, berkembang, dan beroperasi.
Sementara itu, negara dianggap memiliki kapasitas efektif apabila ia mampu memelihara hukum dan ketertiban di dalam seluruh wilayahnya. Dengan kata lain, negara memiliki monopoli  atas pemakaian kekerasan secara sah dan negara memaksakan pemerintahan berbasiskan hukum. Tambahan lagi, negara juga harus memainkan peran penting dalam sektor layanan sosial. Dengan menyediakan barang dan layanan kasatmata kepada publik, suatu negara bisa meningkatkan legitimasinya.
Empat alat prediksi
Dari dua variabel itu, muncullah empat varian teoretis lengkap dengan prediksi akan derajat terjadinya potensi mobilisasi kekerasan politik. Pertama, negara partisipatoris efektif. Di sini, mobilisasi kekerasan oleh kekuatan-kekuatan politik eksternal akan teredam karena adanya jalur partisipasi sehingga bentuk kritik terhadap pemerintah mengambil jalan damai. Di negara ini, ada jalur-jalur institusional untuk partisipasi dan negara punya kapasitas efektif untuk mengambil kebijakan publik yang baik. Tentu ini merupakan bentuk negara yang paling baik untuk meredam potensi mobilisasi kekerasan. Â
Kedua, negara otoriter efektif. Di sini, mobilisasi kekerasan juga teredam, tapi kadang ada letupan kekerasan di sana sini. Di negara ini, jalur institusional untuk partisipasi disumbat, tapi negara punya kapasitas efektif untuk menciptakan kesejahteraan rakyat.
Ketiga, negara partisipatoris inefektif. Di sini, ada mobilisasi kekerasan campuran karena negara tidak punya kapasitas efektif, sehingga masyarakat resah dan kebetulan ada jalur institusional untuk melakukan partisipasi politik.
Keempat, negara otoriter inefektif. Dalam varian inilah, potensi kekerasan sangat tinggi karena partisipasi disumbat dan negara tidak punya kemampuan memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, sehingga timbullah mobilisasi kekerasan tinggi, seperti aksi teror, kudeta, dan lain sebagainya.
Berbekal keempat varian yang menjadi alat deteksi dini bagi risiko aksi kekerasan, kita sebenarnya jadi bisa memahami mengapa aksi kekerasan berbasis agama terkesan melandai saat ini. Sebab, meski masih banyak kritik terhadap praktik demokrasi kita, Indonesia sejauh ini masih bisa dianggap sebagai negara demokratis yang membuka kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan partisipasi politik seperti: berdemonstrasi, mendirikan partai politik, melakukan uji materi (judicial review) terhadap undang-undang yang dianggap merugikan rakyat, dan lain sebagainya. Negara juga masih relatif efektif dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat, terbukti dari pertumbuhan ekonomi yang masih positif dan berbagai kebijakan populis seperti subsidi BBM, program bantuan sosial (bansos), makan bergizi gratis, dan lain-lain. Singkat kata, Indonesia masih tergolong negara partisipatoris efektif. Tinggal, bagaimana pemerintah menjaga supaya status itu tidak tergelincir menjadi partisipatoris inefektif, apalagi otoriter inefektif.
Judul Buku: Umat Bergerak
Tahun Terbit: 2011