Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Merumuskan Humanisme Pancasila

12 Januari 2025   07:04 Diperbarui: 12 Januari 2025   07:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Salah satu ironi dunia modern adalah di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kondisi hidup manusia seakan kian memburuk. Tingginya kesenjangan ekonomi global, makin tegangnya tensi politik kawasan seperti konflik Rusia-Ukraina maupun Israel-Palestina yang membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, potensi krisis ekonomi yang kian memiskinkan banyak masyarakat, masih adanya potensi konflik antaragama, dan lain sebagainya adalah beberapa contoh. Mengapa ironi ini terjadi? Salah satunya adalah karena penerapan pola pikir humanisme yang keliru. Humanisme yang secara esensial ingin memanusiakan manusia justru menjerembabkannya. Ini berlaku baik untuk humanisme-sekuler ala Barat maupun humanisme religius ala Timur. Karena itu, jalan tengah berupa humanisme Pancasila bisa memberikan solusi filosofis mendasar.

Dua Humanisme

Humanisme adalah paham yang menyatakan bahwa manusia adalah pusat alam semesta (antroposentris). Paham ini berangkat dari konteks peradaban Barat sebagai respons terhadap penyimpangan peran agama sebagai tameng bagi penguasa untuk bersikap diktatorial. Sentralnya peranan manusia berakibat pada sentralnya juga fakultas utama manusia: akal budi. Agama dipinggirkan hanya ke wilayah privat, sementara akal lebih memegang kendali atas segala sesuatu, termasuk ketika membicarakan masalah publik. Akal adalah senjata utama manusia untuk mencari Kebenaran dan etikanya sendiri. Di sinilah, humanisme Barat menjadi humanisme sekuler.

Menyusul sekundernya peran agama, manusia memandang diri mereka setara satu sama lain sehingga memunculkan konsep hak asasi manusia (HAM) dan konsep demokrasi-liberal yang mementingkan kebebasan (termasuk kebebasan dari belenggu agama). Seiring munculnya konsep HAM, liberalisme, dan demokrasi inilah humanisme sekuler Barat memiliki cita-cita untuk menjadikan HAM dan prinsip sekularisme menjadi universal.

Dari sejarah singkat di atas, kita bisa melihat dua kelebihan humanisme sekuler. Pertama, dijadikannya akal sebagai senjata utama manusia membuat humanisme menjadi platform bersama di tengah persaingan agama. Akal tidak mengenal 'baju' agama karena semua manusia dikaruniai akal yang sama. Sehingga, manusia tidak akan disekat oleh perbedaan dan kompetisi antaragama yang kerap memicu konflik. Kedua, humanisme sekuler menjadi kritik keras (wake-up call) terhadap agama untuk memperbaiki diri. Ini mengingat fakta sejarah bahwa banyak konflik dalam sejarah dunia justru terjadi karena agama.  

Akan tetapi, ada juga kekurangan serius dari humanisme sekuler. Misalnya saja, pengakuan terhadap HAM dan proteksi terhadap hak minoritas justru kerap memunculkan tirani minoritas. Maksudnya, kaum minoritas yang secara intuisi kita tahu 'menyimpang' dari norma umum malah bisa mendesakkan untuk mendapat pengakuan hak. Contoh: keinginan kaum sesama jenis untuk bisa melangsungkan pernikahan.

Selanjutnya, dunia Barat condong memaksakan supaya konsep HAM-nya berlaku pula di  negara lain. Sebagai contoh, atas nama HAM, Amerika kerap mengintervensi kebijakan politik di negara lain, termasuk Indonesia.  Kemudian, watak antroposentris dari humanisme sekuler membuat manusia merasa sebagai penguasa alam, sehingga bersifat lebih eksploitatif terhadap alam. Muncullah isu kerusakan lingkungan akibat pengurasan sumber daya alam berlebih oleh perekonomian kapitalis.

Yang lebih fatal lagi, humanisme sekuler mengesampingkan peran agama, sehingga menyingkirkan unsur kepastian yang dijamin oleh agama. Harus diingat bahwa meskipun akal itu universal, penerapan akal tentu berbeda-beda di setiap kepala. Akibatnya, kompetisi antaragama justru digantikan kompetisi keras antarakal. Setelah "mengenyahkan" agama, manusia memunculkan "agama-agama" dan "tuhan-tuhan" baru dalam bentuk pemikiran. Kompetisi keras ini membuat manusia terjerumus ke dalam rasa frustrasi mendalam  untuk mendapatkan kepastian kebenaran. Alhasil, manusia justru saling membinasakan demi meraih dominasi atau sekadar melampiaskan rasa frustrasi. Inilah yang menjelaskan mengapa di negara Barat juga terjadi banyak tindak kejahatan. Jadi, paradoks di negara sekuler Barat adalah meskipun mereka menjunjung tinggi HAM, banyak manusia di sana justru melanggar HAM karena frustrasi mendalam akibat tiadanya kepastian nilai (akibat tersingkirnya agama).

Dari latar belakang itu, muncullah humanisme religius untuk mengkoreksi humanisme-sekuler. Bukannya mencita-citakan universalitas HAM sebagai prinsip etis yang didapatkan dari akal, humanisme religius bercita-cita mencari universalitas pesan perdamaian agama untuk diterapkan ke dalam pergaulan antarmanusia. Misalnya, ajaran toleransi tentu diamini semua agama moderat dan inilah yang harus disebarluaskan ke semua umat manusia.

Meskipun demikian, ada negara agama atau organisasi agama yang justru ingin menyebarluaskan partikularitas (kekhususan) agamanya sebagai agama yang menjadi rahmat bagi alam semesta, termasuk umat manusia. Klaim seperti inilah yang ingin didesakkan oleh, misalnya, pihak-pihak yang ingin menjadikan dunia ini sebagai Khilafah Global.

Koreksi mendasar humanisme religius adalah ia mengakui kesetaraan derajat manusia seperti humanisme sekuler, tapi bukan karena kritik terhadap agama, melainkan justru karena mengakui doktrin agama. Logikanya adalah pengakuan kepada Tuhan sebagai Zat Maha Kuasa memunculkan pengertian bahwa semua manusia sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Tidak berhenti sampai di situ, agama juga menegaskan bahwa alam pun sebagai sesama makhluk Tuhan yang sama kedudukannya dengan manusia yang harus dilindungi. Islam menyebutnya sebagai ukhuwah makhluqiyyah, sementara Katolik menyebutnya sebagai eko-teologi. Karena itu, kelebihan lain dari humanisme-religius adalah ia lebih ramah terhadap lingkungan, tidak eksploitatif seperti humanisme-sekuler.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun