Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bumi Sebagai Masjid Semesta, Wawasan Spiritual dari Buku Greendeen

11 Januari 2025   10:55 Diperbarui: 11 Januari 2025   10:55 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Greendeen (Sumber: Koleksi pustaka pribadi)

 
 
"Siapa menabur angin, dia akan menuai badai." Demikianlah peribahasa yang pas menggambarkan nasib umat manusia, termasuk di Indonesia, yang kini sedang dirundung bahaya terkait cuaca ekstrem seperti hujan lebat, banjir bandang, dan sebagainya. Pasalnya, segala bencana alam itu terjadi karena ulah manusia sendiri dalam wujud pemanasan global. Sebab, pemanasan global akibat
penerapan ekonomi rakus bahan bakar dan berlimpah karbon itulah biang keladi bagi panasnya bumi, mencairnya es kutub, naiknya permukaan laut, dan lahirnya amukan angin. Dengan kata lain, kalang-kabutnya manusia menghadapi murka alam terjadi karena manusia selama ini sibuk mengeksploitasi bumi dan lalai merawat lingkungan. Alih-alih menjadikan bumi sebagai
lahan ibadah untuk mewujudkan potensi paripurnanya, manusia justru merudapaksa alam dengan semena-mena

Dari konteks inilah, Ibrahim Abdul-Matin---seorang muslim Amerika sekaligus aktivis lingkungan  yang pernah menjadi penasihat Walikota New York Michael Bloomberg---menulis buku Greendeen. Di bukunya ini. Ibrahim mengandaikan jika saja lebih dari 1,5 miliar umat Muslim di dunia menjadikan bumi ini masjid, niscaya hidup manusia akan lebih sejahtera (hal. 21). Maksudnya, andaikata pemeluk Islam---agama terbesar kedua di dunia---memandang alam sebagai entitas suci yang patut dijaga kelestariannya, umat manusia tidak akan menderita bencana seperti saat ini.

Bagi Ibrahim, Islam adalah Agama (deen) Hijau (green) yang sangat peduli terhadap isu lingkungan (hal. 23). Seturut itu, ada enam prinsip utama perawatan bumi (hal. 24-35). Pertama, prinsip memahami kesatuan Tuhan dan ciptaan-Nya (tauhid) yang menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Sehingga, manusia dan alam pada hakikatnya adalah satu dan tidak terpisahkan. Kita bisa menafsirkan lebih jauh bahwa tauhid tidak membolehkan manusia berjarak dari alam sehingga manusia
menjadi subjek yang menguras alam (objek).

Kedua, melihat tanda kebesaran Tuhan (ayat) di mana saja. Maknanya, alam ini tersedia bagi manusia untuk dijadikan bahan renungan alih-alih sekadar objek eksploitasi. Mempelajari alam adalah sarana bagi kita untuk mensyukuri anugerah Tuhan.

Ketiga, penjaga (khalifah) di bumi. Jadi, ketimbang sebagai penguasa alam semesta, manusia hanyalah wakil Allah (khalifatullah) yang harus memanfaatkan lingkungan dengan cara bijaksana. 

Keempat, amanah atau kepercayaan memegang hak perwalian. Terkait dengan konsep khalifah, prinsip amanah meniscayakan manusia memanfaatkan kepercayaan Tuhan dengan menjaga planet ini sebaik-baiknya. Jadi, sebagai pemegang hak perwalian atas bumi dari Tuhan, manusia bertanggung jawab secara individual dan kolektif untuk mempertahankan keseimbangan alam dan melestarikan lingkungan.

Kelima, keadilan ('adl). Berpijak pada asas ini, manusia harus memperlakukan alam secara adil dengan mengemban peran sebagai pelindung planet ini dari berbagai tindakan merusak. Juga, dari tindakan eksploitatif semata yang hanya ingin memuaskan nafsu ekonomi dan laba.

Keenam, keseimbangan (mizan). Manusia harus memanfaatkan alam dengan rasional. Tidak boleh manusia mengeduk habis alam semaunya tanpa proses pembaruan kembali. Mengabaikan prinsip ini sama dengan mengundang kerusakan alam yang berbahaya bagi manusia.

Betapa positifnya bagi manusia jika keenam prinsip di atas diterapkan! Maka itu, Ibrahim mengklaim umat muslim yang mengamalkan prinsip Agama Hijau di atas sama saja beribadah (shalat) di masjid bumi. Sekaligus, menunaikan kewajiban politis, ekonomis, dan religius yang punya dampak ekonomi luar biasa. Yaitu, mentransformasikan ekonomi "abu-abu" yang penuh polusi menuju ekonomi hijau yang menegaskan kehidupan dan kemandirian (hal. 283)

Jadi, buku ini sangat relevan sebagai sumber hikmah bagi umat manusia untuk memperlakukan bumi sebagai masjid semesta guna menghalau bencana alam yang disemainya sendiri.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun