Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Paham Ekonomi Sosial

10 Januari 2025   21:17 Diperbarui: 10 Januari 2025   20:16 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selama ini, orang banyak berdebat soal mana yang lebih baik antara kapitalisme dan sosialisme. Perdebatan pun lebih bernuansa hitam putih atau zero-sum (kalah - menang), dalam arti hanya satu yang paling benar di antara keduanya. Padahal, kita bisa mencari sintesis dari keduanya. Paham ekonomi sosial menawarkan sintesis semacam itu.   

Digagas oleh Sismondi (1773-1842) dan John A. Hobson (1859-1942), paham ekonomi sosial mengakui hak milik pribadi seperti kapitalisme liberal---tidak seperti sosialisme yang alergi dengan kata ini---sekaligus bercorak sosialisme dengan menonjolkan
peranan negara sebagai agen intervensi. Sebagaimana diuraikan Mikhael Dua dalam Filsafat Ekonomi (2008), Sismondi dan Hobson menjelaskan bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama. Artinya, produksi barang dan layanan harus ditangani sedemikian rupa demi memaksimalkan kemakmuran manusia. Berdasrkan konsep ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sebagai kepentingan bersama anggota masyarakat. Jadi, tugas ekonomi sosial adalah memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi. 

Seturut prinsip itu, ekonomi sosial mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi mengedepankan prinsip persamaan hak dan kedudukan moral bagi setiap warga negara. Makanya, ekonomi sosial dijuluki sebagai ilmu normatif. Sebab, ilmu ini mencari norma bagi kebijakan dan institusi ekonomi yang baik demi menjamin kebaikan bersama.

Contoh konkret

Contoh konkret dari penerapan ekonomi sosial ini dapat kita lihat pada institusi Grameen Bank yang digagas pemenang Nobel Perdamaian Muhammad Yunus. Grameen Bank---grameen dalam bahasa Bangladesh berarti pedesaan---adalah institusi yang bertujuan memberdayakan kaum perempuan dari kemiskinan dan dari dominasi lelaki. Caranya, Grameen Bank memberi kaum perempuan miskin di pedesaan itu akses pada kredit tanpa agunan untuk memulai usaha produktif. Hal ini revolusioner di Bangladesh karena kaum perempuan di sana adalah warga sekunder yang tidak memiliki penghasilan ataupun aset sehingga mereka tidak bankable alias tidak layak mendapatkan akses pada kredit.

Berkebalikan dengan stigma umum itu, M. Yunus dan Grameen Bank justru memberikan kepercayaan penuh kepada kaum perempuan tersebut dan juga percaya bahwa kredit merupakan hak asasi bagi semua warga negara tanpa terkecuali, termasuk kaum perempuan dan miskin. Untungnya, kepercayaan mereka ternyata dibayar lunas sebab tingkat gagal bayar kaum perempuan itu begitu kecil.
Artinya, para perempuan miskin itu adalah pekerja keras, berketerampilan dan berkomitmen membayar cicilan.

Di sisi lain, keberhasilan Grameen Bank bukanlah keberhasilan institusi swasta itu semata mengingat pemerintah Bangladesh juga memberikan dukungan pada bank tersebut. Tadinya, pemerintah dan bank sentral Bangladesh tidak membolehkan pendirian bank yang segmennya khusus memberikan kredit kepada kaum miskin. Namun, setelah presentasi dan persuasi dari Yunus, pemerintah dan bank sentral Bangladesh luluh dan pada Oktober 1983 merevisi UU Perbankan demi mengizinkan pengecualian
bagi Grameen Bank untuk beroperasi dengan status 'bank swasta khusus'. Pemerintah pun di awal pendirian Grameen Bank ikut menguasai 60 persen saham di sana. Di sinilah, prinsip ekonomi sosial yang memadukan peran swasta dan intervensi pemerintah terpenuhi.

Hasilnya pun menakjubkan! Kaum perempuan Bangladesh jadi memiliki penghasilan serta mampu menopang perekonomian keluarga mereka tanpa mengorbankan peran tradisional mereka sebagai pengasuh anak-anak. Dengan kata lain, perempuan miskin Bangladesh telah teremansipasi dan bermetamorfosis menjadi perempuan modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen tinggi.

Maka itu, ketimbang kita berdebat soal mana yang lebih baik antara kapitalisme dan sosialisme, jauh lebih baik jika kita mulai menengok paham ekonomi sosial. Meminjam pemeo mantan Perdana Menteri China, Deng Xiaoping, "saya tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang terpenting dia bisa menangkap tikus."

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun