Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ekonomi Pancasila sebagai Mazhab Alternatif

10 Januari 2025   18:15 Diperbarui: 10 Januari 2025   18:15 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah begitu banyak masalah ekonomi yang menghimpit negeri ini, sekalangan orang mulai merasakan jangan-jangan ada yang tidak beres dengan hulu praktik ekonomi sekarang. Artinya, praktik ekonomi saat ini tidak segaris dengan filsafat ekonomi yang terkandung dalam pandangan-hidup khas bangsa Indonesia, Pancasila.

Secara khusus, praktik ekonomi saat ini lebih condong pada filsafat kapitalisme neoliberal yang, menurut Herry-Priyono (dalam Francis Wahono [ed.], Neoliberalisme, 2003), merupakan "mazhab ekonomi yang ikut mengambil sektor publik sebagai lahan untuk mendapatkan laba." Alhasil, hampir semua sektor di negeri ini menjadi ajang memupuk laba semata seraya mengabaikan aspek kemaslahatan publik, mulai dari sektor energi, pendidikan, kesehatan, hingga yang terbaru sektor perberasan.

Kembali ke khittah

Karena itu, sesungguhnya negeri ini perlu kembali ke khittah ekonominya, yaitu mazhab ekonomi yang dilandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Merujuk Sistem Ekonomi Pancasila (Subiakto Tjakrawerdaya dkk., 2017), Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) memiliki dua ciri pokok. Pertama, pengaturan negara di bidang ekonomi harus diputuskan oleh rakyat secara mufakat. Inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Ciri ini yang dianggap menjadi pembeda dengan kapitalisme dan sosialisme. Sebab, kapitalisme yang mengandalkan pasar bebas justru sering berujung pada kegagalan pasar, yang lantas menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat serta kerusakan lingkungan. Di sisi lain, sosialisme yang mengutamakan peran dominan negara memiliki kelemahan berupa pemangkasan kebebasan dan kemandirian rakyat untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi.

Kedua, SEP mengandaikan adanya keserasian tata peran dan kemitraan setara antara perusahaan negara (BUMN), koperasi dan swasta dengan misi meningkatkan produktivitas dan efisiensi seraya memperkuat usaha mikro, seperti petani, nelayan dan pengrajin. Konsep ini kemudian disebut sebagai "pasar berkeadilan".

Lebih jauh, dua ciri pokok tersebut melahirkan sejumlah manifestasi SEP, yaitu: mewujudkan kemakmuran bersama seluruh rakyat dan kemandirian ekonomi bangsa; partisipasi total rakyat dalam pembangunan ekonomi; perencanaan ekonomi nasional; peran strategis negara; institusi pasar yang berkeadilan; koperasi Indonesia sebagai sokoguru ekonomi rakyat; BUMN sebagai soko guru dalam kegiatan ekonomi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak; peran perusahaan swasta sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesempatan kerja; dan adanya perlindungan sosial bagi rakyat yang tidak dapat bekerja produktif atau kehilangan pekerjaan.

Kita bisa melihat betapa idealnya asumsi-asumsi mazhab ekonomi Pancasila di atas. Dan, apabila dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, jelas perekonomian Indonesia akan tangguh karena mampu memadukan secara serasi antara aspek pertumbuhan (jargon utama kapitalisme) dan aspek pemerataan (sendi utama sosialisme).

Sejumlah PR utama

Sayangnya, gerak menjauh dari mazhab ekonomi Pancasila itulah yang kita saksikan sekarang.  Salah satu sebabnya, ada sejumlah kelemahan mendasar yang harus menjadi PR utama apabila kita benar-benar ingin mempraktikkan SEP.  Jika kita telusuri literatur tentang ekonomi Pancasila, mulai dari kala kali pertama dicetuskan oleh Emil Salim (artikel harian Kompas, 1965), hingga diteruskan oleh Mubyarto (Ekonomi Pancasila, 1986), Dawam Rahardjo (Ekonomi Pancasila, 2004), Boediono (Ekonomi Indonesia, mau dibawa ke mana?, 2009), dan Subiakto Tjakrawerdaja dkk (Sistem Ekonomi Pancasila, 2017), ada tiga PR utama bagi pengembangan SEP. Pertama, belum adanya dimensi konkret yang kuat dari SEP. Ini berbeda, misalnya, dari upaya penganjur ekonomi Islam (ekonomi syariah) yang sudah menyodorkan konsep skema kredit syariah, perbankan syariah, kebijakan moneter syariah, dan lain sebagainya. Memang, ada sejumlah karya yang menjurus ke sana, tapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari seperti konsep 'manajemen Pancasila'
oleh Muchtar Naim (Jurus Manajemen Ekonomi Pancasila, 1987).

Kedua, kebanyakan literatur tentang SEP mengutamakan MPR sebagai perwujudan musyawarah mufakat untuk merumuskan GBHN. Padahal, konsep ini masih debatable dan bisa memantik kontroversi panas. Sebab, pelaksanaannya akan kembali menjadikan MPR lembaga tertinggi negara dan presiden sebagai mandataris MPR yang dipilih MPR alih-alih langsung oleh rakyat seperti saat ini. Bisa timbul tuduhan "gerakan ekonomi" ini akan ditunggangi oleh gerakan "kembali ke era lama."

Ketiga, penganjur mazhab SEP jangan terjebak pada pendakuan ideologis yang seakan menutup mata terhadap pengaruh-pengaruh baik mazhab ekonomi lain. Pasalnya, literatur tentang SEP secara umum masih terperangkap aroma pamfletis yang hanya melihat kesalahan-kesalahan sistem ekonomi lain secara parsial. Contoh, anggapan bahwa kapitalisme itu hampa dari nilai spiritual---berbeda dari SEP yang mengutamakan nilai moral dan ketuhanan---sesungguhnya sudah banyak ditepis. Salah satunya, disertasi
Sonny Keraf (1991) tentang Theory of Moral Sentiments, karya awal Bapak Pasar Bebas, Adam Smith, mengemukakan betapa bermoralnya pasar bebas karena Smith berpendapat bahwa pasar bebas hanya bisa bertahan jika para pelakunya memiliki simpati terhadap sesama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun