Saat ini, di mana perkembangan teknologi informasi begitu luar biasa cepatnya, profesi penerjemah sejatinya kian memegang posisi kunci. Sebab, penerjemah adalah jembatan peradaban. Kerja penerjemahan-lah yang membawa dunia Barat mencapai kejayaannya saat ini. Tatkala dunia Barat dilanda masa Kegelapan abad pertengahan akibat pemasungan rasio oleh doktrin agama, sejumlah penerjemah dunia Arab membawa obor pencerahan dengan terjemahan mereka terhadap karya filsuf Yunani klasik semisal Plato, Aristoteles, dan lain sebagainya. Karya-karya Yunani itu membangunkan individu Barat dari tidur lelap rasionya demi merengkuh akalbudi sebagai terang untuk menyaput kabut kegelapan dan memaklumatkan datangnya alaf baru yang menjunjung tinggi otonomi individu dan kekuatan rasionalitas manusia. Hasilnya: kemajuan teknologi luar biasa dan peradaban modern yang melesatkan dunia Barat (Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, Gramedia Pustaka Utama, 1995).
Dalam konteks dunia ketiga, karya-karya terjemahan bahkan lebih penting lagi. Sebab, di dalam dunia yang banyak penduduknya belum fasih berbahasa asing, buku terjemahan adalah alat bagi warga negara dunia ketiga mengejar ketertinggalan dari segi pengetahuan. Oleh karena itu, penerjemah buku di dunia ketiga seperti Indonesia mengemban tanggung jawab mulia lagi luhur (noblesse oblige). Sayangnya, pengalaman saya sebagai penerjemah lebih dari satu dasawarsa menunjukkan bahwa peningkatan tanggung jawab itu belum dibarengi apresiasi layak dari para stakeholders perbukuan seperti pemerintah, penerbit, pembaca, maupun penerjemah sendiri.
Pertama, penerjemah di Indonesia masih mengalami fakta miris betapa kurang memadai honor atau fee yang mereka dapatkan untuk kegiatan intelektual menguras pikiran seperti menerjemahkan buku. Bayangkan saja, ada penerjemah yang masih dibayar sekitar Rp 20,000-35.000 per halaman MS word standar spasi ganda. Bahkan, ada yang kurang dari itu. Padahal, karya-karya yang diterjemahkan kerap menuntut pengetahuan teknis mumpuni. Belum menyinggung fakta seorang penerjemah kerap dituntut bekerja dengan tenggat ketat, bervariasi tergantung penerbit, antara 1 - 3 bulan untuk buku sumber setebal 300 halaman berspasi rapat. Sedihnya lagi, standar pembayaran penerbit kepada penerjemah pada umumnya tidak menganut sistem langsung bayar setelah kerja selesai. Standar lazim adalah 2 minggu, tapi ada yang lebih lama lagi. Alhasil, kondisi ini kerap menghasilkan kerja serampangan sejumlah penerjemah berupa kualitas penerjemahan buruk yang gagap menyampaikan makna teks asli.
Kedua, selain fee pas-pasan, kebanyakan penerjemah terpaksa menerima sistem jual putus bagi karya terjemahannya. Maksudnya, berapa pun karya terjemahan yang terjual, sang penerjemah tidak lagi mendapatkan royalti tambahan. Jadi, jika satu buku laris setebal 200 halaman seharga Rp 100.000 mengalami cetak ulang empat kali (3.000 x 4 alias 12.000 eksemplar) dalam waktu kurang dari setahun---standar penerbit bagi buku bestseller---penerjemah hanya bisa gigit jari. Padahal, kalau mendapatkan 2 persen royalti tambahan saja, sang penerjemah dapat meraup Rp24 juta setahun (Rp100.000 x 2% X 12.000 eksemplar) sebelum pajak. Itu baru satu judul! Jumlah yang lumayan sebagai passive income ketika misalnya sang penerjemah memutuskan pensiun.
Ketiga, dari segi pengakuan, penerjemah juga terpinggirkan. Nama penerjemah seringnya hanya terselip mungil di halaman awal buku bersama pernyataan hak-cipta. Padahal, penempatan nama seperti ini kerap terlewatkan oleh khayalak pembaca.
Solusi
Maka itu, jika kita tak mau dianggap sebagai negara yang menelantarkan salah satu aset intelektual terbesarnya, yaitu penerjemah, harkat penerjemah buku harus diperbaiki. Ini bisa dilakukan terutama lewat sejumlah langkah berikut.
Pertama, pihak penerbit seyogianya mulai berpikir untuk kian menghargai kerja penerjemahan sebagai karya intelektual dalam bentuk honor lebih baik. Juga, merumuskan standar waktu pembayaran yang sama-sama menguntungkan penerbit dan penerjemah. Waktu tunggu dua minggu untuk honor terjemahan jelas terlalu lama.
Kedua, penerbit bisa menjalankan sistem royalti bagi penerjemah. Kebijakan ini akan membuat penerjemah merasa dihargai dan memiliki sumber passive income sebagai bantalan ekonomi di hari tua. Kisarannya tidak perlu sebesar royalti penulis buku yang 10 persen-12 persen. Cukup 2 persen-3 persen saja akan membuat penerjemah merasa diapresiasi. Tak lupa pula, penerbit bisa memberikan hak cipta kepada penerjemah supaya sang penerjemah bisa menikmati penghasilan tambahan jika terjemahannya digunakan penerbit lain, dipakai sebagai naskah adaptasi teater atau film, dan lain sebagainya. Â Â Â Â Â
Ketiga, penerbit bisa mulai mencantumkan nama penerjemah, terutama yang sudah senior dan layak kompetensinya, di kover depan buku. Penempatannya bisa di bawah nama penulis asli. Hal demikian akan mempromosikan sang penerjemah sekaligus menanamkan kebiasaan baik kepada publik untuk menghormati kerja penerjemah. Memang sudah ada beberapa penerbit yang melakukan itu, seperti salah satu penerbit yang beberapa tahun lalu rajin mempublikasikan seri sastra dunia, tapi hal demikian masih sangat langka.
Keempat, pemerintah dapat memberikan fasilitas bebas pajak bagi penghasilan yang didapatkan dari kerja penerjemahan, terutama buku-buku teks untuk keperluan pendidikan dasar maupun perguruan tinggi. Â