Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teologi Pembebasan dan Sepak Bola

9 Januari 2025   22:45 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepak bola diakui sebagai olahraga unik yang begitu digandrungi dan dipuja. Sampai banyak orang berseloroh bahwa status sepak bola hampir menyerupai agama. Namun, yang lebih tepat sebenarnya adalah ada hubungan antara sepak bola dan agama. Hal demikian lebih terasa berlaku apabila kita melihat betapa kiblat sepak bola selama ini berada di Amerika Latin, di mana bercokol negara-negara raksasa sepak bola dunia, seperti Brazil dan Argentina. Menariknya, banyak negara di Amerika Latin menerima popularitas dari satu kekuatan agama bernama Teologi Pembebasan.

Kaitan Logis

Menurut Francis Wahono dalam Teologi Pembebasan (LKIS, Yogyakarta, 2000), teologi pembebasan sebagai aliran agama revolusioner di Amerika Latin adalah persenyawaan antara ajaran Katolik dan doktrin Marxisme yang bersendikan empat pilar. Pertama, kemandirian rakyat (independency) sebagai ciptaan Allah yang tertinggi. Kedua, solidaritas (solidarity) yang mengutamakan
rasa hormat kepada pribadi lain dengan segala keunikannya. Ketiga, keadilan sosial (social justice) yang menekankan pemenuhan sarana kehidupan dasar bagi seluruh warga negara. Keempat, kerakyatan (populist) yang mengutamakan cinta kepada kemanusiaan, terlebih mereka yang termarginalkan.

Konsekuensi logis paham Teologi Pembebasan dalam tataran praktik dan politik adalah suatu negara terdorong untuk menerapkan prinsip-prinsip sosialisme dalam penataan sosial-ekonominya. Sosialisme sendiri adalah suatu mazhab ekonomi yang secara sederhana bercirikan: mengutamakan peranan negara dalam ekonomi,menomorduakan pemilikan individu (private property), lebih mengutamakan aspek pemerataan atau kesejahteraan ketimbang aspek pertumbuhan, dan mementingkan motif pelayanan sosial ketimbang laba.

Maka itu, kita bisa lihat mayoritas negara Amerika Latin, terutama para kampiun sepak bola—Brazil, Argentina, Uruguay—adalah penganut ajaran sosialisme. Artinya, teologi pembebasan adalah energi spiritual yang benar-benar menguatkan pemeo bahwa bola itu bundar, di mana segala hal bisa terjadi dan prestasi dapat diraih. Hal ini logis karena prinsip utama dalam permainan sepakbola adalah semangat tim alias kolektivitas, yang persis merupakan sendi penting sosialisme. Ego pribadi pemain, sehebat apa pun dia, haruslah diredam demi mewujudkan permainan efektif guna menghasilkan kemenangan.

Jadi, individualisme justru akan menumpulkan efektivitas permainan satu tim sepakbola. Kreativitas alias inisiatif pribadi memang diperlukan, tapi semua itu harus dikerahkan demi mencapai tujuan kesejahteraan (baca: kemenangan tim), bukan kejayaan individu pemain. Dengan kata lain, semakin larut satu individu dalam jiwa korsa satu tim, semakin akan luar biasa tim sepakbola itu.

Selain itu, semua elemen tim harus kompak bekerja sama. Tidak ada pemain—entah striker,gelandang, pemain sayap—yang lebih unggul satu dibanding yang lain. Semua punya peranan pentingnya masing-masing sebagaimana diajarkan oleh prinsip keadilan sosial Teologi Pembebasan. Dan apabila kekompakan terjalin, maka kemenangan—atau prinsip kemandirian—hanya tinggal masalah waktu sehingga tim dapat mempersembahkan prestasi menghibur bagi para fans setia mereka sebagai elemen populis yang diutamakan dalam Teologi Pembebasan.

Dengan demikian, bermain sepak bola adalah ekspresi perayaan dan rasa syukur manusia akan percikan ruh ketuhanan di dalam diri mereka. Bermain sepak bola adalah semacam olah fisik, olah batin, dan ritual yang akan membawa para pemain sepak bola pada penyatuan hakiki dengan Tuhan—filsafat Jawa menyebutnya manunggaling kawula-Gusti (Romo Zoetmulder, Manunggaling Kawula-Gusti, Gramedia, 1995)—dalam bentuk empat pilar Teologi Pembebasan tadi. Dan jika para stakeholders dunia
sepak bola nasional bisa memetik inspirasi dari ini, mungkin itu akan menjai tambahan energi bagi tim sepak bola kita yang sedang berupaya meraih asa ke Piala Dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun