Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bibit Siklon dan Teologi Pemanasan Global

9 Januari 2025   21:30 Diperbarui: 9 Januari 2025   21:11 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pagi hari tadi tanggal 9 Januari 2025, kota Jakarta tempat saya menulis kolom ini diguyur hujan lebat. Tak putus-putus sedari malam sebelumnya. Ini ternyata mengkonfirmasi pantauan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melalui Tropical Cyclone Warning Center Jakarta bahwa bibit siklon 975 sedang terbentuk di perairan Samudra Hindia, sebelah selatan Jawa Timur, pada Selasa (7/1/2025). Hal demikian akan meningkatkan curah hujan dan angin kencang di beberapa wilayah serta gelombang tinggi di perairan bagian selatan Indonesia hingga tiga sampai tujuh hari mendatang.

Artinya, bahaya pemanasan global sebagai penyebab bibit siklon sudah kian nyata. Bagaimana pemanasan global menyebabkan bibit siklon? Sebagai awal, perlu diketahui bahwa pemanasan global adalah fenomena bertumpuknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akibat emisi karbondioksida dari kegiatan ekonomi industri berbasis penggunaan bahan bakar fosil. Emisi ini lantas bertumpuk di bumi menyerupai selubung. Kemudian, cahaya matahari menyinari bumi dan membuat bumi panas. Seharusnya, panas itu kembali ke udara supaya suhu bumi kembali normal. Namun, selubung emisi karbon dioksida tadi menahan pelepasan panas sehingga panas terpantul kembali ke bumi. Akibatnya, suhu bumi meningkat, es di kedua kutub mencair, dan permukaan laut naik. Nah, peredaran arus laut inilah yang mengakibatkan perubahan iklim, termasuk hujan lebat dan banjir.

Meski sudah menjadi diskursus publik sejak Al Gore merilis film dokumenter pemenang Oscar An Inconvenient Truth (2006), masyarakat dunia nampak masih acuh tak acuh terhadap pemanasan global, termasuk di Indonesia. Padahal, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim harusnya menjadi salah satu garda depan merespons pemanasan global mengingat Islam memiliki khazanah pemikiran bernama 'teologi pemanasan global'

Teologi pemanasan global

Menurut Mujiyono Abdillah dalam disertasinya berjudul Agama Ramah Lingkungan (Paramadina, 2001), teologi pemanasan global dalam Islam memiliki tiga prinsip. Pertama, bumi adalah tempat hidup ideal. Maksudnya, bumi adalah planet yang sebenarnya paling idedal sebagai tempat hidup bagi manusia dan makhluk lain karena suhu panas bumi alam memang cocok, nyaman, dan bersahabat bagi kehidupan. Hanya saja, ulah manusia yang melakukan eksploitasi alam secara bebas tanpa kendali telah merusak
tatanan ideal yang harmonis tersebut.

Kedua, langit adalah pelindung kehidupan. Maknanya adalah bahwa bumi dapat menjadi tempat hidup bagi manusia dan makhluk lain karena dilindungi lapisan atmosfer. Jadi, lapisan atmosfer ini harus dijaga betul-betul oleh manusia sebagai khalifah (pemegang mandat kuasa) alam. Sayangnya, kegiatan ekonomi karbon akibat emisi industri telah mengotori langit sehingga langit itu tak lagi mampu secara optimal melepaskan panas ke udara.

Ketiga, pemanasan global bersifat antropogenik alias terjadi karena ulah antropos (manusia) itu sendiri. Akibat perilaku ceroboh manusia dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan, muncullah gangguan-gangguan ekologis yang berujung pada pemanasan global. Dan bentuk konkret gangguan demikian yang kita alami hari ini adalah hujan lebat beserta angin badai maupun topan yang siap meluluhlantakkan berbagai negara.


Berpijak pada tiga sendi itu, umat Muslim harusnya mengembangkan kesadaran untuk mengemban tanggung jawab menjaga keseimbangan dan keajegan suhu panas bumi alami. Caranya bisa dengan melakukan konservasi energi, mengembangkan bahan bakar alternatif, mengurangi emisi karbon dioksida, menghentikan penggundulan hutan, melakukan reboisasi, dan lain-lain.

Dengan kata lain, tiga sendi teologi pemanasan global harus mewujud dalam bentuk praxis (praksis), yaitu aplikasi praktis dari teologi tersebut untuk membebaskan manusia dari permasalahan yang digelutinya.   Tinggal, bagaimana umat Muslim sebagai bagian dari persaudaraan antaragama di dunia dapat mengintensifkan langkah-langkah praksis tersebut.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun