Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengenal Sosialisme Religius (Dari Prawiranegara ke Buber)

9 Januari 2025   19:23 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:27 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata sosialisme di Indonesia masih menjadi momok dan memiliki stigma menakutkan. Mungkin karena sosialisme diidentikkan dengan komunisme. Padahal, komunisme hanyalah salah satu varian dari sosialisme. Sementara ada varian-varian lain seperti sosialisme demokrat dan, yang menginspirasi begitu banyak pemikir ekonomi kita, sosialisme religius. Varian sosialisme religius sendiri bukanlah khas Indonesia atau dunia timur, melainkan juga dikenal di dunia Barat. Jadi, mari kita berkenalan dengan mazhab ekonomi sosialisme religius dari dua tokoh, yaitu Sjafruddin Prawiranegara dari Indonesia dan filsuf Martin Buber dari dunia Barat.  

Syafruddin Prawiranegara 

Merujuk Fachri Ali dalam pengantarnya terhadap buku Dawam Rahardjo, Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius (Mizan, 2013), semangat ekonomi Indonesia dalam pasal 33 UUD 1945 yang dirumuskan oleh para founding persons, utamanya Bung Hatta, lebih bercorak sosialis karena merupakan penolakan terhadap kapitalisme yang identik dengan penjajahan negara Barat.

Maka itu, Soemitro Djojohadikoesoemo ingin melanjutkan cita sosialistis Bung Hatta ini dengan menjadikan bangsa Indonesia sesegera mungkin berdiri di atas kaki sendiri dan lepas dari penjajahan. Soemitro pun jadinya mengusulkan bahwa negara mesti memainkan peran besar dalam membentuk struktur ekonomi dan melakukan industrialisasi demi memproduksi barang-barang pengganti alias substitusi impor.

Akan tetapi, Sjafroeddin Prawiranegara menentang usulan itu. Bagi Sjafroeddin, strategi sosialistis untuk negara yang baru merdeka seperti Indonesia tidaklah cocok. Ia memang mengakui idealisme itu berharga, tapi jauh lebih penting bagi Indonesia untuk menerima bantuan maupun investasi asing demi membangun bangsa, sesuatu yang pada akhirnya diakui oleh Soemitro.

Namun, terlepas dari kritik itu, Sjafroeddin tetap meyakini sosialisme asalkan bersifat religius, dalam hal ini sosialisme yang diilhami ajaran Islam. Sosialisme religius versi Sjafroeddin mengkritik paham sosialisme-komunis yang ateis alias tidak percaya Tuhan. Sjafroeddin juga mengecam ajaran masyarakat tanpa kelas dari komunisme. Bagi Sjafroeddin, Islam mengajarkan bahwa perbedaan kelas adalah sesuatu yang fitrah dalam hidup manusia dan tidak bisa dihilangkan, melainkan hanya dapat dikurangi.

Jadi, Islam tidak meyakini konsep perjuangan kelas, melainkan berupaya menetapkan kewajiban kepada orang kaya untuk membantu yang miskin demi mengurangi kesenjangan sosial. Pendek kata, Islam lebih memilih cara redistribusi pendapatan. Akibatnya, paham sosialisme religius mengakui adanya hak milik pribadi---tidak seperti komunisme---asalkan ada proses redistribusi yang meminimalkan kesenjangan. Sebagai tambahan, pengakuan hak milik pribadi ini harus dibatasi pula oleh moral dan hukum.

Buber

Meskipun sosialisme religius dari Syafruddin Prawiranegara ini lebih terilhami oleh ajaran Islam, pandangan demikian punya irisan besar dengan prinsip-prinsip sosialisme religius Kristiani dari Martin Buber. Dalam esai "Three Theses on Religious Socialism" pada 1928 (dalam koleksi tulisan Pointing the Way, 1957), Buber mengemukakan tiga tesis sosialisme religius. Pertama, penyatuan dengan Tuhan sebagai esensi agama dan persaudaraan di antara sesama manusia sebagai esensi makhluk sosial haruslah berjalan beriringan. Agama tanpa sosialisme bagaikan ruh tanpa badan, sementara sosialisme tanpa agama laksana tubuh tanpa jiwa.

Kedua, agama sejati adalah yang penganutnya menunjukkan tanggung jawab konkret untuk dunia ini, sementara sosialisme sejati adalah yang mampu mewujudkan kehidupan bersama secara baik antar sesama manusia. Ketiga, sosialisme religius mengajarkan bahwa manusia dalam situasi konkret kehidupan pribadinya haruslah mengindahkan aspek fundamental kehidupan berikut: fakta bahwa Tuhan itu ada, dunia itu ada, dan manusia berdiri di hadapan Tuhan maupun dunia.

Jika kita ringkaskan, Buber dan Sjafroeddin sama-sama ingin mengatakan bahwa suatu sistem perekonomian haruslah mampu mewujudkan persaudaraan sesama manusia seraya mewujudkan kesejahteraan umum maupun kehidupan bersama yang harmonis. Maka itu, apabila semua manusia itu bersaudara, tentu tidak boleh ada relasi antagonistis atau konflik yang saling menghancurkan antara si kaya dan si miskin sebagaimana diajarkan komunisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun