Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenal Kearifan Lingkungan Lokal Pengusir Hama di Nusantara

9 Januari 2025   16:49 Diperbarui: 9 Januari 2025   16:49 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu masalah klasik masyarakat pedesaan adalah kehadiran hama perusak, khususnya hewan pengerat seperti tikus. Pasalnya, hewan-hewan seperti ini merupakan salah satu ancaman bagi keberhasilan panen. Kebanyakan solusi untuk masalah ini adalah dengan membunuh hama-hama itu dengan berbagai cara, termasuk dengan bahan kimia pestisida.

Padahal, sebagai pelengkap solusi kimiawi itu, khazanah kearifan lokal (local wisdom) di pelbagai wilayah Nusantara menyajikan ragam solusi alternatif mujarab yang sarat muatan moral lagi ramah lingkungan (environment friendly).

Pertama, di dalam kultur masyarakat Sunda misalnya, ada permainan (dolanan) tradisional krik cari jangkrik. Dalam dolanan ini---di mana dolanan, mengutip James Danandjaja dalam Folklor Indonesia (Penerbit Grafiti, Jakarta, 1995), merupakan bagian dari kekayaan folklor Nusantara---anak--anak berupaya memburu dan menangkap jangkrik. Sesudah jangkrik tertangkap, anak-anak biasanya membuatkan rumah bambu bagi hewan pengerik itu. Nah, suara kerikan jangkrik inilah yang ampuh membuat ciut nyali tikus dan membuatnya menjauh.

Masih dalam tradisi Sunda, alat musik tiup karinding juga sudah lama dikenal sebagai instrumen ampuh mengusir tikus. Setelah diteliti, alat ini memiliki frekuensi dan gelombang tertentu yang membuat tikus takut sehingga mereka tidak betah dan kabur dari lokasi tempat karinding dimainkan. Secara empiris, hal ini terbukti dari pengakuan komunitas adat Ciomas di mana desa Ciomas Panjalu, Jawa Barat, terus terjaga dari hama tanpa menggunakan racun pembasmi sejak 2009 dengan adanya penggunaan karinding (harapanrakyat.com, diakses pada 24/1/2024).

Kedua, masyarakat Jawa Tengah akrab dengan satu kidung gubahan seorang anggota Sembilan Wali (Wali Songo) paling terkenal, Sunan Kalijaga. Sebagaimana disampaikan Ahmad Chodjim dalam Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga (Serambi, Jakarta, 2003), ada satu kidung---yang bisa berarti sabda atau firman---dalam sastra macapat berjudul Rumeksa ing Wengi. Selain untuk tolak bala, kidung ini di sejumlah desa di Jawa Tengah juga masih diamalkan untuk mengusir hama tikus. Caranya, pelafal doa berpuasa dulu selama 24 jam, dengan makan sahur dan jam berbuka di tengah malam, untuk kemudian melantunkan kidung Rumeksa Ing Wengi ini sambil mengelilingi pematang sawah atau ladang. Biasanya, laku spiritual ini akan membuat tikus benar-benar tidak datang ke sawah tersebut.

Adapun salah satu petilan menarik bunyi kidung itu sebagaimana disampaikan Seno Gumira Ajidarma dalam Ziarah Pustaka Walisanga (Penerbit Intisari, Jakarta, 2006) adalah: Ana kidung rumeksa ing wengi/Teguh hayu luputa ing lara/Luputa bilahi kabeh/Jim setan datan purun/Paneluhan tan ana wani/Miwah panggawe ala/Gunaning wong luput/Geni atemahan tirta/Maling adoh tan ana ngarah in mami/Guna duduk pan sirna. Artinya: Ada kidung melindungi di malam hari/Penyebab kuat terhindar dari segala kesakitan/Terhindar dari segala petaka/Jin dan setan pun tidak mau/Segala jenis sihir tidak berani/Apalagi perbuatan jahat/Guna-guna dari orang tersingkir/Api menjadi air/Pencuri pun menjauh dariku/Segala bahaya akan lenyap.

Solusi ramah lingkungan

Seperti sudah dikemukakan, hal paling menarik dari dua kearifan lokal pengusir tikus ini adalah betapa keduanya itu ramah lingkungan. Perhatikan bahwa dalam kultur Sunda, tikus tidaklah dihalau dengan cara dibunuh, melainkan sekadar ditakut-takuti dengan suara jangkrik.

Setali tiga uang, penggunaan kidung Rumeksa ing Wengi dalam kultur Jawa Tengah tidaklah ditujukan secara bermusuhan sebagai mantra untuk membunuh tikus. Sebaliknya, tikus hanya dibuat untuk sekadar tidak datang. Dengan kata lain, kearifan lokal Nusantara memiliki filosofi untuk menyelesaikan masalah tanpa merusak tatanan harmonis dengan alam. Sebab, dalam konteks tikus misalnya, hewan pengerat ini toh dibutuhkan juga dalam satu rantai makanan untuk mengenyahkan sampah makanan dan pelbagai jenis limbah lainnya. Tanpa tikus, sejumlah masalah lingkungan yang membahayakan kehidupan niscaya akan muncul.

Akhirulkalam, kita bisa melihat betapa bijaknya para leluhur kita dalam merespons suatu masalah dengan cara-cara yang ramah lingkungan dan menjaga keserasian dengan alam semesta. Apalagi, sifat ramah lingkungan ini sangat selaras dengan 'pasal ekonomi' dalam konstitusi UUD 1945, yaitu pasal 33 ayat (4) yang berbunyi "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional." Ini juga selaras dengan tren ekonomi dunia yang sedang gencar mengusung tema pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Dengan kata lain, inilah penyadaran betapa kita seharusnya bangga dengan melimpahruahnya kearifan lokal yang punya implikasi praktis di bumi Nusantara ini. Jadi, menjadi tugas kita semualah sebagai bangsa untuk menggali kembali khazanah alias inventori kearifan lokal kita, menyarikan kegunaan praktisnya, dan menerapkannya sebagai solusi jitu bagi masalah kita di era kekinian.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun