Selama ini, orang mengenal Pancasila sebagai dasar filsafat negara (philosophische grondslag) atau ideologi negara hasil olah pikir Presiden Soekarno. Padahal, Soekarno sendiri mengatakan bahwa beliau merumuskan Pancasila dari nilai-nilai luhur bangsa ini yang sudah ada jauh sebelum 1 Juni. Dengan kata lain, Pancasila memiliki jejak-jejak awal yang sesungguhnya menarik untuk
kita telusuri. Sebab, di tengah berbagai masalah yang mendera bangsa ini: mulai dari kemiskinan hingga hukum yang lemah sampai korupsi, 'kembali ke Pancasila' kerap didengungkan sebagai solusi. Dan, pemanfaatan Pancasila sebagai solusi hanya efektif apabila kita memahami makna substansial Pancasila itu sendiri secara historis dan filosofis.
Merujuk Soerjanto Poespowardojo dalam Filsafat Pancasila (Jakarta, Gramedia, 1985, hal. 16), nilai-nilai Pancasila tersemai pada fase awal lewat bangkitnya kesadaran kebangsaan melalui berbagai peristiwa dan tokoh. Secara mengejutkan, Soerjanto merujuk pada R.A. Kartini sebagai salah satu bidan Pancasila, yaitu ketika Kartini produktif melahirkan tulisan yang memperjuangkan emansipasi dan
pendidikan bagi kaum perempuan. Nilai dasar yang diketengahkan Kartini adalah mengangkat martabat dan perkembangan pribadi manusia. Perjuangan Kartini dianggap mencerminkan sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Namun, jejak yang diguratkan Kartini sebenarnya lebih dalam ketimbang pendapat Soerjanto mengingat pemikiran Kartini tersambung juga dengan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kontribusi terlupakan Kartini
Dalam disertasi doktoralnya di Belanda tentang Kartini, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (Yogyakarta, Gading Publishing, 2013, hal. 103), Th. Sumartana menyatakan salah satu sumbangan pemikiran berharga Kartini terhadap bangsa ini adalah gagasannya tentang monoteisme. Kartini berkeyakinan bahwa Tuhan semua orang dan semua agama pada hakikatnya satu. Maka itu,
Kartini secara kontroversial dalam surat-suratnya kerap mempertukarkan istilah khas Islam dan Kristen dalam menyebut Tuhan. Yaitu, Kartini sebagai muslimah beberapa kali menggunakan istilah teologis "Allah sebagai Bapa yang pengasih dan penyayang". Belum lagi kenyataan betapa Kartini juga sempat menaruh minat pada ajaran Buddha (Haryati Soebadio, Kartini Pribadi Mandiri, Gramedia, 1990).
Memang, bagi Kartini istilah teologis terkait Tuhan tampaknya bukan soal benar. Buat Kartini, esensi ajaran Tuhan berupa kasih-sayang lebih utama dalam kehidupan manusia. Sampai-sampai, Kartini menyatakan agama yang paling indah dan suci itu adalah kasih-sayang, sehingga semua agama terlembaga seperti Islam, Buddha, Kristen, dan lain-lain berhak mencapai kebaikan asalkan penganutnya mengamalkan ajaran agama mereka dengan esensi kasih-sayang. Maka itu, Kartini dalam Habis Gelap Terbitlah Terang (Jakarta, Djambatan, 1985, hal. 18) tegas menyatakan "hal paling penting dalam kehidupan beragama adalah 'berhati baik'." Sekaligus, ini menguatkan sumbangan penting Kartini lainnya tentang peranan agama. Yakni, ia memberikan fokus pada aktualisasi dan dimensi praksis iman: sejauh mana agama berguna dan menyumbangkan sesuatu bagi penyempurnaan hidup manusia dalam masyarakat.
Dengan kata lain, agama-agama pada hakikatnya memiliki gambaran universal tentang manusia, yaitu pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM), keadilan, kesetaraan, kebebasan, dan seterusnya. Mengagumakannya, pemikiran Kartini ini demikian selaras dengan paradigma "martabat manusia universal" yang bermula pada zaman pencerahan (abad ke-18) dan berpuncak pada awal abad ke-20. Itulah paradigma yang menjunjung tinggi kesamaan derajat semua orang, perlindungan HAM, kebebasan berpikir, dan lain
sebagainya.
Ketuhanan yang beradab
Berpijak pada uraian di atas, mafhumlah kita betapa kuat Kartini mewarnai Pancasila, utamanya sila pertama dan kedua serta pertalian antara kedua sila. Yaitu, Pancasila tidak ingin Indonesia menjadi negara yang sekuler di mana nilai-nilai agama tidak boleh memasuki wilayah publik, tapi juga tidak menjadi negara teokratis di mana hanya nilai satu agama tertentu saja yang mendominasi.
Sebaliknya, Pancasila ingin menekankan pentingnya nilai spiritual dan ketuhanan dalam kehidupan berbangsa sekaligus mengayomi semua agama yang hidup di bumi Indonesia. Karena itulah, konsep monoteisme versi Kartini menjadi penting, yang dalam perjalanan sejarah diterjemahkan menjadi sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sebab, konsep monoteisme bisa diterima oleh semua agama besar di
Indonesia.
Sebagai contoh, agama Hindu di Indonesia cenderung menyebut istilah Tuhan secara umum ketimbang Dewa. Juga, agama Buddha---meskipun tidak mengenal secara khusus konsep Tuhan yang Maha Esa---secara dinamis di Indonesia melakukan reinterpretasi guna melakukan pribumisasi Buddha. Biku Akshin adalah pelopor reinterpretasi ini ketika ia mengajukan konsep "Adi Buddha" yang sama
dengan Allah Maha Esa. Konsep "Adi Buddha" ini didapat Biku Akshin ketika menerjemahkan kalimat Im! Namo Buddhaya! Im! dalam teks Buddhis Jawa, Sang Hyang Kamahayanikan, sebagai "Segala Puji Shanghyang Adi Buddha." (lihat Leo Suryadinata, "Agama Konghucu dan Buddha Pasca-Soeharto", dalam antologi Setelah Air Mata Kering, Kompas, 2010, hal. 90).