Memasuki 2025, Indonesia masih mengalami musim hujan, bahkan dengan intensitas yang kadang luar biasa dengan disertai angin badai. Akibatnya, terjadilah bencana banjir dan bahaya longsor sebagai efek ikutannya di beberapa daerah. Negeri ini pun tetap mesti waspada mengingat hujan lebat masih berpotensi untuk terjadi pada beberapa waktu ke depan.
Salah satu sebab hujan tak menentu disertai angin badai adalah pemanasan global. Kemudian, pemanasan global terjadi karena kegiatan ekonomi industri yang rakus bahan bakar fosil menghasilkan emisi karbon dioksida. Emisi ini lantas bertumpuk di bumi menyerupai selubung yang menahan cahaya matahari terlepas ke udara. Padahal proses pelepasan itu dibutuhkan mengingat cahaya matahari itu bersifat memanaskan bumi. Dengan terhambatnya proses pelepasan cahaya itu, suhu bumi meningkat dan sulit kembali normal, es di kedua kutub mencair, dan permukaan laut naik. Nah, peredaran arus laut inilah yang mengakibatkan perubahan iklim, termasuk hujan ekstrem dan bencana badai.
Singkat kata, bencana banjir plus angin badai destruktif yang melanda Indonesia dan juga dunia saat ini adalah akibat ulah manusia sendiri. Sungguh ironis, mengingat agama-agama besar dunia sebenarnya sudah mewanti-wanti bahaya ini lewat teologi banjir, yang sudah banyak dilupakan oleh umat manusia.
Mazhab Teologi Banjir
Menurut Mujiyono Abdillah dalam disertasinya Agama Ramah Lingkungan (Paramadina, 2003), teologi memiliki dua mazhab terkait banjir. Pertama, teologi banjir konvensional. Berdasarkan kisah banjir di zaman Nabi Nuh, Nabi Hud, dan negeri Saba', teologi ini memandang banjir semata sebagai fenomena kemurkaan atau musibah dari Allah. Banjir diyakini sebagai wujud azab Allah
kepada manusia yang tidak mau menerima risalah para Nabi untuk mengikuti ajaran Tuhan.
Kedua, teologi neo-banjir. Merevisi teologi banjir konvensional, mazhab kedua ini menganut pandangan bahwa banjir bukanlah sekadar musibah dari Allah semata. Melainkan, banjir merupakan fenomena ekologis yang terjadi karena perilaku manusia dalam mengelola lingkungan sudah tidak sesuai dengan sunah lingkungan. Pendeknya, banjir terjadi akibat ulah manusia sendiri yang serampangan menjalankan amanatnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
Upaya konkret
Oleh karena itu, salah satu cara yang bisa dilakukan manusia untuk merespons bencana banjir dan angin badai yang datang bersamaan dengan perubahan iklim adalah merevitalisasi teologi neo-banjir di atas. Caranya adalah dengan melakukan upaya-upaya konkret ke arah sana. Untungnya, sudah ada beberapa organisasi keagamaan yang menyadari pentingnya ikhtiar nyata untuk merevitalisasi teologi neo-banjir.
Pertama, Nahdlatul Ulama (NU) berdasarkan mandat Konferensi Agama tentang Perubahan Iklim yang diadakan organisasi nahdliyin ini, merekrut para santrinya sebagai agen aktif untuk mengkonservasi hutan, laut, dan sungai. Juga, memperjuangkan sertifikasi lahan supaya para santri bisa mendapatkan hal legal untuk memetik manfaat ekonomi dari sumberdaya alam seraya melakukan kerja konservasi. Tambahan lagi, NU meluaskan misi lingkungannya hingga mencakup dorongan aktif bagi para santri untuk membangun perkebunan, melakukan kerja pertanian dengan pupuk alami, dan mengerjakan reboisasi. Dengan langkah-langkah ini, NU dan para santrinya berharap bisa menyerap lebih banyak emisi karbon sekaligus mengurangi pemanasan global
Kedua, Muhammadiyah sebagai organisasi yang memiliki ratusan lembaga pendidikan dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi mendorong sekolah-sekolah dan universitas-universitasnya memangkas penggunaan kertas sebanyak 50 persen (Ulil Amri dalam "Divine Power", Strategic Review, August 2011). Muhammadiyah meyakini langkah ini akan mengurangi penebangan pohon dan mengurangi deforestasi (penggundulan hutan)---salah satu sebab pemanasan global---mengingat produksi setiap 15 rim kertas memerlukan satu pohon besar berusia 10 tahun. Selain itu, sekolah-sekolah kejuruan Muhammadiyah mulai mencanangkan untuk mengajarkan teknik pengolahan dan pendaurulangan sampah.
Akhirulkalam, peribahasa 'siapa menabur angin, dia akan menuai badai' tampaknya berlaku bagi nasib manusia yang kini merana dirundung bencana alam akibat kesemberonoan manusia dalam mengeksploitasi lingkungan. Karena itu, terpulang pada kita sendirilah untuk mengatasi masalah yang disebabkan ulah kita sendiri. Yaitu, mencamkan kembali ajaran teologi neo-banjir seraya melakukan tindakan nyata secara bersama-sama.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI