Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Perlunya Merejuvenasi Filsafat Pancasila

8 Januari 2025   07:51 Diperbarui: 8 Januari 2025   07:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Memasuki 2025, bangsa ini perlu berefleksi untuk lebih memperbaiki diri. Pasalnya, negeri ini masih memampangkan situasi umum yang jauh dari ideal. Rangkaian fakta memprihatinkan seperti: tetap terbelahnya masyarakat antara sebagian kaum 'nasionalis', 'sekularis', dan 'agama'; menjamurnya praktik korupsi; belum paripurnanya penegakan hukum; kian seringnya kasus kriminalitas; semakin pragmatisnya partai politik; banyaknya warga yang sulit mendapatkan pekerjaan; masih sulitnya sebagian masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari karena kenaikan harga bahan pokok; dan lain sebagainya adalah bukti dari itu.

Secara objektif, Indonesia dari segi demokrasi saja menurut indeks Economist Intelligence Unit (EIU) masih tergolong pada demokrasi cacat (flawed democracy). Tingkat kesenjangan sosial pun masih mencemaskan karena rasio Gini kita masih 0,38.

Akibatnya, cita-cita bangsa untuk kembali ke khittah Negara Pancasila masih mimpi di siang bolong. Lihat saja, gejala penghadap-hadapan kategori 'nasionalis', 'sekularis,' 'agama' tidaklah selaras dengan sila ketuhanan; konflik horisontal dan merajalelanya korupsi adalah pengangkangan sila kemanusiaan; terkikisnya persaudaraan antar warga negara adalah pembusukan sila persatuan; partai politik yang semakin pragmatis adalah pengkhianatan terhadap sila kerakyatan; dan terlunta-luntanya nasib ekonomi rakyat adalah pelecehan terhadap sila keadilan sosial.

Jika dirunut, salah satu akar dari hal demikian adalah absennya pemahaman bangsa mengenai Pancasila sebagai filsafat khas negeri ini. Dengan kata lain, salah satu solusi penyakit bangsa ini adalah merejuvenasi (menggairahkan kembali) Pancasila sebagai filsafat. Mengadaptasi definisi filsafat dari Harry Hamersma (Pintu Masuk ke Dunia Filsafat, Kanisius, 2002), kita perlu merevitalisasi Pancasila sebagai "telaah kritis, radikal, sistematis, dan komprehensif terhadap semua lapangan kenyataan dan perikehidupan dalam masyarakat Indonesia."

Kesalingterkaitan sila

Ir. Soekarno dalam pidato "Lahirnya Pancasila" pada 1 Juni 1945 (teks asli dalam Herbert Feith dan Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, LP3ES, 1992) mengatakan bahwa Pancasila itu sejatinya bisa diperas menjadi ekasila (satu sila) berupa semangat kekeluargaan alias gotong-royong. Selanjutnya, ekasila ini bisa diangkat lagi ke tingkat abstraksi yang lebih tinggi: cinta kasih.

Dalam makalah tahun 1959 yang berjudul "Cinta Kasih Sebagai Pemersatu Sila-Sila" (Karya Lengkap Driyarkara, Gramedia Pustaka Utama, 2006), Driyarkara mengemukakan bahwa manusia di dunia ini tidaklah bisa hidup sendirian. Dia harus mengada bersama orang lain (Mit-sein). Pendek kata, identitas satu individu juga dibentuk dari hubungannya dengan orang lain.

Di sisi lain, mengada bersama orang lain itu tidak berjalan secara sembarangan. Melainkan, harus dilandasi dengan rasa hormat dan cinta kasih (liebendes Mit-sein). Ringkasnya, modus mengada itu harus menumbuhkan etos toleran, saling membantu, dan mengakui sesama manusia sebagai pribadi (persona) ketimbang objek.

Berpijak pada spirit cinta kasih ini, kita bisa merumuskan kepribadian bangsa yang ideal. Pertama, dalam konteks sila ketuhanan, segala tindak-tanduk manusia Pancasila dalam kehidupan beragama haruslah berjalan dengan spirit cinta kasih. Konkretnya, semua umat beragama---terlepas apakah mereka 'nasionalis', 'sekularis,' atau 'agamis'---harus sama-sama mengembangkan sikap yang toleran, saling menghormati, dan tidak saling menyerang. Maka, ketuhanan Pancasila adalah ketuhanan yang beradab, toleran, dan inklusif.

Kedua, dari segi sila kemanusiaan yang adil dan beradab (internasionalisme dalam pidato Soekarno), spirit cinta kasih mewujud dalam penghargaan terhadap persamaan hak asasi manusia dan supremasi hukum (rule of law). Semua warga negara Indonesia, karena keberagamannya, berhak mempertahankan identitas uniknya, tapi dalam semangat persaudaraan yang antikekerasan. Konsekuensinya, semangat toleransi, empati, dan penegakan hukum (law enforcement) yang adil menjadi niscaya. Kemanusiaan Pancasila menjadi humanisme yang nasionalistis.

Ketiga, dari aspek persatuan, manusia Indonesia mesti memandang sesama warga dengan penuh cinta kasih sebagai pribadi berkedudukan sama. Dengan begini, masyarakat akan melupakan egoisme untuk saling berkonflik, Bahkan, mereka akan mampu mengembangkan empati untuk menguatkan solidaritas dan semangat gotong-royong mengatasi segala tantangan bangsa.  Lebih konkret lagi, ini mewujud dalam konsep Wawasan Nusantara sebagai geopolitik Indonesia, yaitu cara pandang bangsa Indonesia menganggap diri dan wilayahnya sebagai satu kesatuan (Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, 2012) dalam unit politik demokratis. Pendek kata, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme-demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun