Salah satu keprihatinan banyak dari masyarakat kita saat ini adalah betapa Negara sering menjalin permufakatan jahat (unholy alliance) dengan oknum kalangan pengusaha sembari meminggirkan kepentingan rakyat atau masyarakat sipil. Sering sekali kita lihat misalnya betapa pemerintah sebagai representasi Negara---baik pemerintah lokal maupun pusat---kerap mengeluarkan kebijakan yang terlalu pro-pengusaha dan justru merugikan kepentingan umum. Â
Namun, fenomena persekutuan penguasa dan pengusaha yang sering disebut 'penguasaha' ini tidaklah aneh. Pasalnya, Negara secara struktural memang mengalami semacam 'keterpaksaan' untuk selalu memberikan keberpihakan kepada pengusaha. Maka itu, kita sebenarnya harus mencari cara untuk bisa menjinakkan kecenderungan ini supaya tidak terlalu membahayakan masyarakat dan demokrasi secara keseluruhan.
Negara neodevelopmentalis
Secara teoretis, Ralph Milliband mengutarakan bahwa relasi 'penguasaha' itu terjalin karena memang ada kedekatan pribadi antara kalangan pengusaha dan penguasa. Karena kedekatan ini, menjadi mudah bagi pengusaha untuk memengaruhi penguasa supaya membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pengusaha. Peran lobbying sangat ditekankan di sini.
Dalam konteks kontemporer, relasi ini dikuatkan oleh fenomena oligarki politik di mana pengusaha bahkan masuk ke dalam sistem politik untuk langsung memengaruhi kebijakan Negara. Sehingga, oligarki ini menurut Richard Robison dan Vedi Hadiz menjadi sempurna sebagai "sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan" (Prisma 1 Vol. 33, 2014). Â
Namun, para ilmuwan struktural tidak puas dengan penjelasan yang semata-mata psikologis ini. Menurut Arief Budiman dalam "Negara: Kesadaran, Kemauan dan Keterbatasan Strukturalnya" (Sistem Ekonomi Pancasila, Gramedia, 1990), Fred Block mencoba memberikan penjelasan yang lebih struktural dan bersifat Marxian. Yaitu, keputusan Negara yang menguntungkan kaum kapitalis atau pengusaha tidak lagi dilihat sebagai akibat kedekatan sosial antara kaum kapitalis dan elit Negara, tapi merupakan keterbatasan struktural dari semua negara yang ada dalam sistem kapitalis. Tanpa kaum kapitalis berhubungan dekat dengan elit Negara pun, tetap Negara akan mengambil keputusan-keputusan yang menguntungkan modal. Sebab, kelangsungan hidup dari Negara erat berkaitan dengan terjadinya pengembangan modal.
Penjelasannya, Negara dalam sistem kapitalis hanya akan hidup kalau ada pemasukan cukup dari pajak atas modal. Karena itu, Negara harus membuat kondisi yang memungkinkan pengembangan modal berjalan baik dengan cara menciptakan business confidence bagi kaum kapitalis domestik maupun asing, memeratakan kekayaan secukupnya supaya kaum buruh tidak membuat huru-hara, dan berperan sebagai polisi untuk mencegah gangguan yang terjadi.
Kerangka Marxian dari Fred Block inilah yang membantu kita memahami mengapa Negara dalam sistem kapitalis terobsesi dengan kestabilan politik, mengutamakan peran aparat keamanan, dan sulit sekali menaikkan upah minimum bagi pekerja. Dalam sejarah Indonesia, pemerintah Orde Baru adalah manifestasi dari obsesi di atas dengan mengedepankan wacana hegemonik pembangunan ekonomi sebagai dalih untuk tidak terlalu mengutamakan demokrasi politik. Wacana hegemonik ini yang terkenal dengan nama developmentalisme.
Serupa tapi tak sama, pemerintah saat ini mengadopsi pendekatan hegemonik serupa, tapi dalam kerangka sistem politik yang lebih demokratis. Pembangunan ekonomi kembali menjadi panglima, sehingga kritik dari masyarakat sipil sebisa mungkin diredam tapi dengan cara-cara demokratis dan hukum seperti melalui jerat legislasi, contohnya melalui UU ITE atau melalui revisi UU yang melemahkan masyarakat sipil semisal revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Inilah yang disebut sebagai instrumen legalisme otokratis yang bekerja untuk menjustifikasi wacana hegemonik neodevelopmentalisme yang dipraktikkan oleh negara neodevelopmentalis.
Menjinakkan  Â
Mengingat relasi 'penguasaha' yang menguntungkan kelas kapitalis ini menjadi keniscayaan struktural, maka solusi untuk perbaikan kondisi rakyat adalah dengan menjinakkan peran Negara. Salah satu cara utama adalah, karena Negara membutuhkan laba atas modal demi menjaga eksistensinya dan membiayai program-program pembangunan, Negara tidak boleh semata-mata mengandalkan pemasukan dari kelas kapitalis atau korporat. Sebaliknya, Negara bisa mengandalkan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai sumber lain demi menunjang Negara.
Sebab, merujuk Refly Harun dalam BUMN dalam Sudut Pandang Tata Negara (Balai Pustaka, 2019), BUMN di antaranya memiliki maksud dan tujuan memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan negara, mengejar keuntungan, dan turut aktif memberikan bimbingan serta bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.
Karena itu, Negara harus menciptakan tata kelola yang baik (good corporate governance) bagi BUMN demi menciptakan deretan BUMN yang sehat dan terhindar jauh dari praktik korupsi. Sehingga, BUMN-BUMN ini tidak perlu banyak "menyusu" kepada Negara, punya integritas tinggi, dan mampu memberikan kontribusi laba mumpuni ke Negara. BUMN-BUMN yang strategis tapi kurang efisien juga bisa dihimpun menjadi satu kesatuan ekonomi secara kolektif di bawah perusahaan induk (holdingisasi).
BUMN pun tidak boleh lagi menjadi ajang politisasi di mana kadang penunjukan direksi dan komisaris BUMN dilatari oleh motif "bagi-bagi jabatan" sebagai insentif bagi "jasa politik." Juga, BUMN mesti dihindari menjadi 'sapi perah' yang dipaksa mengerjakan proyek-proyek infrastruktur mercusuar yang justru menyulitkan keuangan BUMN itu sendiri. Â
Apabila BUMN secara keseluruhan sehat, koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) juga akan menguat. Akibatnya, Negara akan kian otonom dari keharusan membuat kebijakan yang melulu pro-pengusaha. Sekaligus, ini akan menciptakan perekonomian Indonesia yang tangguh sebagaimana dicita-citakan konstitusi karena disokong oleh sinergi sehat dari tiga pilar ekonomi, yaitu Negara (diwakili BUMN), swasta, dan koperasi, di mana ketiga entitas ini tidak boleh saling mematikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI