Kebanyakan orang tentu membayangkan Negara sebagai entitas raksasa dengan kuasa begitu besar yang sulit untuk bisa runtuh. Padahal, perjalanan sejarah membuktikan itu bisa terjadi, seperti yang kita lihat pada pecahnya Uni Soviet, Yugoslavia, atau Cekoloswakia.
Indonesia sebagai negara besar pun tidak luput dari potensi keruntuhan. Apalagi, catatan sejarah sejumlah kesultanan di Nusantara menunjukkan hal demikian. Misalnya, kita bisa menengok disertasi Ita Syamtasiyah Ahyat, Kesultanan Banjarmasin Abad ke-19: Ekspansi Pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan (Penerbit SAM, 2012) yang meneliti sejarah runtuhnya Kesultanan Banjarmasin. Mengejutkannya, penelitian ini juga menemukan bahwa sebab-musabab keruntuhan Kesultanan Banjarmasin ternyata mirip dengan sejumlah kesultanan lain di Nusantara.
Inti karya ini adalah bahwa Kesultanan Banjarmasin begitu menarik perhatian banyak pedagang, termasuk VOC Belanda, dari berbagai belahan dunia karena kekayaan komoditas ladanya. Bahkan belakangan, VOC berhasil memonopoli perdagangan lada Eropa menyusul serangkaian perjanjian dengan pihak Kesultanan. Namun, perjanjian-perjanjian itu berakibat pada melemahnya kesultanan karena perjanjian tersebut membuka pintu bagi Belanda untuk turut campur secara jauh ke dalam urusan pemerintahan Kesultanan.
Pemerintah Belanda, yang mengambil alih urusan VOC, kemudian masuk ke Kalimantan dan meneruskan perjanjian-perjanjian dengan Kesultanan Banjarmasin. Akibatnya, kesultanan tidak lagi berkuasa penuh, melainkan menjadi bawahan pemerintah Hindia Belanda. Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda mampu menguasai penuh kegiatan ekonomi dan perdagangan, termasuk sektor pertambangan yang melimpah.
Kemunduran Kesultanan Banjarmasin membuat kehidupan rakyat sengsara, apalagi menyusul tindakan kaum bangsawan menaikkan pajak. Ini memicu pemberontakan di berbagai tempat. Belanda yang melihat Kesultanan Banjarmasin tidak mampu menumpas pemberontakan-pemberontakan tersebut lantas memutuskan menghapus eksistensi kesultanan ini dan memasukkannya ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Dengan kata lain, perjalanan sejarah Kesultanan Banjarmasin yang berakhir pada abad ke-19 terjadi karena kesultanan ini memiliki kelemahan institusional dalam menghadapi masuknya pengaruh kekuasaan politik dari luar. Faktor ini juga yang berkontribusi pada jatuhnya sejumlah kesultanan lain di Nusantara.
Pelajaran untuk Republik
Jika kita lihat uraian di atas, ada sejumlah pelajaran menarik yang bisa kita petik di tengah begitu banyak tantangan: pelemahan ekonomi, integrasi dengan tatanan ekonomi politik global, berkuasanya oligarki, dan kemunduran indeks demokrasi.
Pertama, Indonesia adalah negara kaya sumber daya alam yang jelas menggoda niat banyak kepentingan modal untuk menguasainya. Kepentingan modal yang kemudian masuk ke negara ini sering kali bersekutu dengan pengusaha dan penguasa lokal serta melahirkan kekuasaan oligarki, yang didefinisikan oleh Jeffrey Winters sebagai “politik pertahanan kekayaan antar-aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah” (Prisma 1 Vol. 33, 2014). Artinya, kaum oligark adalah mereka yang memiliki aset kekayaan dan berupaya mempenetrasi sistem politik guna mempertahankan dan memperluas kekayaan tersebut. Penetrasi modal ke sistem politik pun menghasilkan politik berbiaya tinggi.
Kaum oligarki ini kemudian begitu berkuasa di segala sektor, termasuk sektor publik yang mengutamakan hajat hidup orang banyak, dengan mengutamakan laba. Akibatnya, sektor publik seperti kesehatan dan pendidikan menjadi begitu mahal bagi kebanyakan orang.
Kedua, sistem politik oligarkis yang dijadikan instrumen pemupukan laba oleh kaum oligarkis hanya mementingkan proyek pembangunan fisik yang sering rawan korupsi akibat menjadi bancakan bagi para pemodal dan kroni-kroninya. Lahirlah ekonomi berbiaya tinggi yang membutuhkan pembiayaan tinggi juga. Secara umum, pembiayaan ini datang dalam bentuk kenaikan pajak dan berbagai pungutan. Padahal, kenaikan pajak itu berpotensi memicu pemberontakan dan kerusuhan di sana-sini yang bisa berujung pada keruntuhan suatu negara.