Belakangan ini, kita bisa mengamati adanya tren orang mengisap rokok elektrik atau akrab dikenal sebagai vape. Selain tampak lebih gaya, mengisap rokok elektrik dianggap lebih kecil risiko kesehatannya ketimbang mengisap rokok biasa. Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Dr. Agus Dwi Santoso SpP (K) dalam “Media Briefing: Paparan Hasil Kajian dan Studi Klinis Rokok Elektronik di Indonesia” (9/1/2024), 90 persen rokok elektrik mengandung nikotin. Bahkan, cairan rokok elektrik ditemukan mengandung karsinogen pemicu kanker. Selain itu, prevalensi perokok elektrik dewasa di Indonesia melonjak 10 kali lipat dalam waktu 10 tahun terakhir.
Mengacu pada kajian medis di atas, jelas rokok elektrik mengandung potensi bahaya yang tidak kecil. Selain itu, sebagai salah seorang penderita penyakit paru kronis, penulis bisa menambahkan bahwa rokok elektrik berpotensi memicu satu bahaya medis yang sedang diwaspadai oleh komunitas global, yaitu resistensi antibiotik. Bahkan harian Kompas menyebut bahaya resistensi antibiotik ini sebagai pandemi sunyi (Kompas, 28/11/2023).
Hubungan
Memang, hubungan antara rokok elektrik dan resistensi antibiotik tidaklah langsung. Akan tetapi, prevalensi pengguna rokok elektrik bisa menjadi variabel anteseden yang memicu variabel independen berupa sejumlah penyakit paru, seperti infeksi paru kronis. Kemudian, infeksi paru secara umum menyebabkan variabel antara (intervening) berupa kekerapan penggunaan antibiotik. Padahal, penggunaan antibiotik secara sering itu dapat menyebabkan bahaya terjadinya resistensi antibiotik (variabel dependen).
Secara kualitatif, pengalaman penulis adalah contoh dari relasi antarvariabel di atas. Sebab, penulis di kala remaja adalah perokok nonelektrik yang cukup berat. Dampak dari kebiasaan itu dituai sekitar dua dasawarsa kemudian, ketika penulis didiagnosis menderita penyakit paru kronis bronkiektasis (BE). Menurut Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia (PDPI), BE adalah “kondisi ketika saluran bronkus yang terdapat di dalam paru-paru mengalami kerusakan, penebalan, atau pelebaran permanen dan dapat terjadi pada lebih dari satu cabang bronkus” (klikpdpi.com). Akibatnya, lendir menumpuk di saluran pernapasan dan sulit dikeluarkan, sehingga bisa memicu infeksi bakteri yang memperburuk kerusakan bronkus.
Penyakit BE ini secara umum tidak bisa disembuhkan (irreversible), melainkan hanya dapat ditatalaksana guna mencegah seringnya kekambuhan (eksaserbasi). Namun, seringkali penderita tetap mengalami kekambuhan beberapa kali dalam setahun, biasanya berupa infeksi mikroba patogen (penyebab penyakit) bakteri. Padahal, kondisi kekambuhan akibat infeksi bakteri membutuhkan terapi agen antimikrobial, yaitu antibiotik. Celakanya, bakteri sebagai makhluk hidup ternyata memiliki mekanisme untuk belajar dan mengembangkan kekebalan (resistensi) terhadap antibiotik. Gawatnya lagi, bakteri juga memiliki kemampuan mentransfer resistensinya kepada bakteri di makhluk hidup penjamu (host) lain.
Sebagai contoh, penulis yang biasa mengalami kekambuhan beberapa kali dalam setahun suatu waktu harus menjalani prosedur analisa kultur sputum (dahak). Prosedur ini diperlukan untuk mengetahui secara spesifik bakteri patogen apa yang menjangkiti penulis, sehingga dokter bisa meresepkan jenis antibiotik yang tepat guna menyingkirkan bakteri tersebut. Hasil analisa terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: Susceptible yang artinya temuan bakteri bisa dienyahkan dengan suatu antibiotik yang diujikan, Intermediate yang bermakna bahwa temuan bakteri bisa diterapi dengan suatu antibiotik namun dengan dosis lebih tinggi atau durasi pengobatan lebih lama, dan Resistant yang berarti bahwa temuan bakteri sudah kebal terhadap antibiotik yang diujikan.
Hasil tes kemudian menunjukkan bahwa penulis terjangkiti escherichia coli, bakteri yang umum dijumpai dalam pencernaan tapi pada kondisi tertentu bisa menjadi patogen dan menjangkiti organ lain seperti paru, misalnya karena proses gerak balik asam lambung (gastric reflux). Sayang, dari puluhan antibiotik yang diujikan, sudah banyak yang tidak mempan melawan bakteri di tubuh penulis alias resistant, termasuk antibiotik oral—antibiotik minum yang tidak perlu dimasukkan lewat pembuluh darah (intraveneous)—yang umum diresepkan secara empiris, yaitu amoxicillin dan ciprofloxacin. Untungnya, ada beberapa antibiotik oral lain yang masih ampuh melawan bakteri tersebut, sehingga penulis akhirnya bisa melalui episode infeksi itu dengan baik.
Bayangkan jika pada satu titik umat manusia mengalami resistensi banyak antibiotik secara global. Itu akan berakibat pada kemungkinan bahwa penyakit infeksi sederhana seperti akibat tertusuk jarum pun dapat berakibat pada kematian karena bakteri patogen itu sudah kebal terhadap semua antibiotik. Pakar mikroba Dame Sally C. Davies lebih dari satu dasawarsa silam bahkan sudah mendata dalam buku klasik The Drugs Don’t Work (Penguin, 2013) bahwa sudah begitu banyak bakteri yang resisten terhadap sejumlah antibiotik yang umum diresepkan. Sebagai contoh, bakteri umum penyebab sakit tenggorokan Group A streptococci ternyata sudah mengembangkan resistensi terhadap sejumlah antibiotik makrolida, seperti eritromisin, azitromisin, dan klaritromisin.
Solusi
Karena itu, penekanan angka prevalensi pengguna rokok elektrik dan resistensi antibiotik harus ditekan. Setidaknya ada tiga cara untuk itu. Pertama, pemerintah bisa menaikkan lagi cukai rokok elektrik yang sudah diberlakukan sejak 1 Januari 2024. Ini untuk menaikkan harga rokok elektrik, sehingga membatasi akses calon perokok terhadap rokok elektrik.