Enam, kepastian kontrak energi meliputi beberapa prioritas seperti kontrak migas, kepastian biodiesel dan harga keekonomian listrik.
Tujuh, peningkatan produksi dan merespon permintaan pangan dengan cepat. “Kalo dilakukan 11 provinsi kita produksi beras meningkat 15 persen, teknologi pengeringan di 22 provinsi dengan padi yang sama mendapat beras lebih besar. Teknologi bibit, pendampingan petani,” ungkapnya.
Delapan, melakukan reindustrialisasi. Dia mengatakan mesti mengubah mindset saudagar menjadi industrialis.
Sembilan, revolusi jasa. Menurutnya Indonesia menderita kultur jasa yang lemah. Maka dari itu perlu adanya transformasi menuju pusat industri jasa.
Sepuluh perbaikan pada sektor keuangan. Dia menuturkan sektor keuangan selama ini tidak berpihak pada usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). “Pemerintah buka akses ini dengan membentuk bank pembangunan mikro kecil menengah,” lanjut dia.
Sebelas, berhubungan dengan tenaga kerja. Menurutnya tenaga kerja mesti menyesuaikan dengan jumlah penganggur lalu dipindah ke tempat yang memiliki produktivitas tinggi.
Dua belas, perlu adanya kepastian hukum. Kata dia negara adalah produk hukum, maka tim road map membuat rekomendasi hukum.
Tiga belas, menjadikan pemerintah daerah menjadi pusat layanan publik. Pemerintah daerah bukan berurusan kedaulatan.
“Ke empat belas adanya perbaikan informasi rakyat, kita bekerja patuh pada sistem, sistem intensif, kepemimpinan yang baik, ” tukas dia.
Sofyan Djalil pernah menyebutkan, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam lima tahun terakhir negatif. Padahal dari sektor ini membuka harapan penciptaan lapangan kerja yang lebih besar. Korea Selatan, Jepang dan Tiongkok adalah tiga negara yang sukses menjadi negara industri berkat kebijakan yang baik dan terarah. Sementara Indonesia masih harus belajar untuk menumbuhkan industri manufaktur.
“Kita percaya negara maju bukan karena sumber daya alam, tapi kebijakan yang baik. Korea, Jepang dan Tiongkok mampu menjadi negara industri, income per kapita naik berkat kebijakan yang baik dan tepat,” tegas mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu di acara DBS Asian Insight Seminar di Hotel Ritz Calrton, Jakarta, Selasa, 25/11/2014 yang lalu. Sofyan menjelaskan, Sebut saja Tiongkok. Negeri Tirai Bambu itu harus menempuh perjalanan panjang selama puluhan tahun untuk bangkit dari kesulitan ekonomi maupun politik. Tiongkok, kata dia, akhirnya bisa menjadi negara terbuka bagi investor.
“Korea habis dan hancur akibat perang dunia. Tapi setelahnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan baik dengan menyekolahkan banyak mahasiswa sekolah di Amerika Serikat. Dan akhirnya menjadi brand trust untuk mendorong ekonomi mereka. Pemerintah Indonesia, akan terus mengambil kebijakan baik dan tepat untuk membuat ekonomi menjadi lebih baik. Salah satunya berkoordinasi dengan Bank Indonesia demi mendukung investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tutur Sofyan.
“Kebijakan itu salah satunya tampil mengoreksi kebijakan subsidi yang salah sasaran dan boros. Karena lima tahun terakhir, anggaran subsidi tembus Rp 714 triliun, sedangkan spending kesehatan Rp 240 triliun dan Rp 540 triliun untuk infrastruktur dalam periode yang sama,” terang dia. Dengan penghematan kenaikan BBM subsidi, Sofyan berjanji akan mengalokasikan atau mengalihkan untuk pembangunan infrastruktur, perbaikan irigasi yang 42 persen rusak parah, membangun waduk dan lainnya. “Jumlah waduk kita lebih dikit dari Malaysia, sehingga nggak bisa simpan air baku, dan saat hujan kebanjiran. Makanya kebijakan diarahkan kesana, karena misalnya dengan rata-rata Rp 500 miliar saja, kita bisa bangun 1.500 waduk,” tandas dia. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Anwar Nasution menilai, kondisi ekonomi Indonesia mirip dengan krisis keuangan di periode 1997-1998. Untuk keluar dari masalah tersebut, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) perlu merombak kebijakan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). “Kita ini punya masalah serius, di mana pertumbuhan ekonomi terus menurun, rupiah melemah. Ini menggambarkan ada masalah, khususnya di sektor perbankan dan utang luar negeri swasta,” ujar Anwar di Jakarta, Rabu (8/7/2015).
Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) ini mengakui saat krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) perbankan meningkat, dan ketidakmampuan swasta membayar utang luar negeri. “Utang pemerintah terkontrol, yang bermasalah utang luar negeri swasta. Harga komoditas yang anjlok, tingkat suku bunga naik dan pelemahan kurs rupiah mengakibatkan sektor swasta enggak bisa bayar utang. Akhirnya banyak kredit macet mengganggu likuiditas perbankan. Jadi kondisinya persis sama dengan 1997,” tegas dia. Kata Anwar, pemerintah perlu merombak total kebijakan pemerintahan sebelumnya untuk keluar dari kesulitan ekonomi ini.