Hampir 2 dekade kita memasuki jaman reformasi, tentu seharusnya sudah semakin matang dalam hal berdemokrasi. Bukan mengenai kebebasan berbicara yang kini sedang dipermasalahkan dengan surat edaran hate speech, melainkan kematangan dalam hal mewakilkan kepentingan kita kepada pemimpin yang kita pilih.
Fenomena yang terjadi saat ini adalah betapa banyaknya pemimpin yang dengan mudahnya mengkambinghitamkan pihak lain, koar-koar dahulu berfikir kemudian, bicara tanpa memperhatikan etika dan kesantunan, terlebih selalu memaksakan kebenaran versinya sendiri, seolah-olah semakin keras dia bicara semakin merasa benar pula dia.
Indonesia memang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan santun, memang pemimpin yang saya sebut diatas hanyalah segelintir dari pemimpin yang mayoritas santun dan penuh etika. Karena sebetulnya (semoga kita tidak lupa) seperti itulah bentuk ideal yang menjadi tuntutan bagi seorang pemimpin. Yaitu seseorang yang mampu memimpin, mendorong, ataupun menggerakan. Dan bukan sekedar manajer ataupun majikan yang hanya bisa menyuruh dengan perintah.
Fenomena yang kedua adalah bergesernya nilai-nilai bentuk ideal kepemimpinan bagi sebagian masyarakat. Jika dahulu rakyat memilih dan mendukung pemimpin yang santun, beretika dan bermartabat, kini rakyat lebih menyukai pemimpin yang keras, tegas, out of the box, agresif, frontal, dan ekstrim. Seolah-olah rakyat ingin segera bebas dari tekanan dan tidak ingin terlalu berlama-lama dalam keadaan stagnan saat ini.
Bisa disimpulkan, bahwa kedua fenomena diatas adalah bentuk dari rasa frustasi rakyat yang merasa dan menganggap bahwa kepentingannya tidak terakomodir oleh kepemimpinan model lama yang lamban dan tak acuh. Sebagai contoh, rakyat merasa frustasi dan kecewa terhadap pelayanan pemda yang tidak sesuai harapan mereka, tidak terserapnya aspirasi rakyat karena jauhnya jurang antara rakyat dan wakil rakyat, dan ketidak berdayaan rakyat melawan penguasa yang berkaitan dengan social dan hukum.
Sikap apatis dan frustasi rakyat terbawa hingga pemilihan pemimpin baik pilkadal maupun pemilu. Sebagai bentuk penjelasan atas fenomena yang kedua, munculnya dukungan kepada pemimpin “model baru” yang dicitrakan sebagai anti kemapanan, tegas, bersih, whistle blower, dan anti korupsi. Sebaliknya kepemimpinan “model lama” dicitrakan sebagai penguasa raja kecil yang mempertahankan status quo dan korup.
Idealnya kita memilih pemimpin yang terbaik dari pilihan terbaik yang ada. Namun ketika rakyat telah apatis dan frustasi, mereka cenderung memilih untuk tidak memilih. Karena rakyat beranggapan bahwa sebetulnya tidak ada perubahan apapun atas kepentingan mereka meskipun terjadi pergantian pemimpin, Maka ada dua kemungkinan yang bisa terjadi, yaitu antara golput ataupun memilih asal bukan si A. sehingga cara memilih mereka bergeser dari memilih yang terbaik menjadi memilih yang dianggap tidak lebih buruk (karena mereka beranggapan bahwa semua pilihan yang ada adalah buruk dan korup)
Apa yang bisa didapat dari pemimpin yang bukan terbaik dari yang terbaik, tentu hanya melahirkan pemimpin dengan kualitas minimalis yang tidak berisi. Namun mereka menyukainya, karena itulah satu-satunya yang bisa mereka lakukan sebagai bentuk perlawanan politik terhadap rejim kepemimpinan model lama. Mereka senang melihat terjadi perubahan kepemerintahan secara ekstrim, mereka senang para penguasa dan pejabat yang dianggap korup dipaksa untuk keluar zona nyamannya, mereka senang ketika para penguasa dan pejabat dipaksa bersuara dan saling riuh satu sama lainnya (dimana sebelumnya para penguasa tersebut diam dan acuh). Inilah bentuk pelampiasan dan balas dendam rakyat yang frustasi dan apatis kepada pemimpinnya yang dianggap lamban dan korup.
Tentu akan timbul pro dan kontra, ketidakdewasaan dan ketidaksabaran rakyat terhadap para pemimpin yang mereka pilih sendiri, karena memilih pemimpin adalah tanggung jawab yang sangat besar, yang berdampak kepada baik pemilih maupun non pemilih. Tentu sudah selayaknya demi kebaikan bersama adalah memilih yang terbaik dari yang tebaik dengan mengkesampingkan perasaan subyektif like & dislike yang berasal dari kekecewaan dan sikap apatis dan frustasi. Yang tanpa sadar akan berdampak negatif dalam berdemokrasi karena akan melahirkan rasa frustasi yang lain dan membuat rakyat semakin apatis, terutama ketika nilai-nilai ideal dari pemimpin semakin tidak terpenuhi.
Tentu, harapannya adalah agar rakyat semakin matang dalam berdemokrasi, karena sebetulnya, rakyatlah yang memegang peran utama dalam melahirkan seorang pemimpin yang baik, apakah akan memilih dan mendukung pemimpin yang sekedar untuk memuaskan hasrat dan ego sebagai pelampiasan rasa frustasi mereka, ataukah akan memilih pemimpin yang dapat memutus lingkaran setan konflik antar rakyat tersebut.