Mohon tunggu...
Ganis Prahasti
Ganis Prahasti Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah Lepas

Seorang istri dari pria berkebangsaan Jepang dan saat ini tinggal di kota Saitama, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebuah Cerita dari Panti Jompo di Negeri Sakura

14 Oktober 2022   14:08 Diperbarui: 3 Juni 2024   07:15 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hai, Obaasan" (Ya nek) aku pun menganggukkan kepalaku. Kemudian nenek itu berjalan tertatih dengan tubuhnya yang sudah bungkuk. Ah, melihatnya langsung membuatku teringat akan orang tuaku di Indonesia.

Kakek dan nenek yang tinggal disini memiliki alas an masing-masing yang membuat mereka memutuskan untuk tinggal di panti jompo, seorang diri, jauh dari keluarga. Namun, ada juga beberapa pasang suami dan istri yang tinggal disini. Mereka memilih untuk tinggal bersama di panti jompo karena tidak mau berpisah satu sama lain. Ada yang beralasan tidak ingin merepotkan anak-anak mereka. Tapi, tidak jarang juga yang memang sengaja dititipkan oleh anak-anaknya untuk tinggal di panti jompo.

Pernah suatu pagi saat sedang bersiap di depan pintu dapur, aku mendengar seorang nenek berteriak dari atas kursi rodanya.

"Gomennasai! Gomennasai!" (Maaf! Maafkan aku!) berulang kali dia berteriak seperti itu.

Karena khawatir terjadi sesuatu dengan beliau, aku memanggil salah seorang perawat dan memberitahukan kondisi nenek tersebut.

"Uun, daijoubu yo, Suzuki-san" (Udah gapapa kok, Suzuki-san) perawat tersebut menanggapi dengan santai, seolah-olah kejadian tersebut memang sudah biasa terjadi.

Sejurus kemudian aku mengetahui dari rekan kerjaku sesama staf dapur kalau nenek tersebut memang acapkali berteriak-teriak seperti itu karena memiliki trauma disiksa oleh menantunya sendiri. Karena hal itu pula, anaknya memutuskan untuk memasukkan Ibunya ke panti jompo. Miris rasanya membayangkan perasaan nenek tersebut saat anak laki-laki yang dibanggakannya lebih memilih istri yang sudah menyiksa Ibunya sendiri. Tapi, siapa pula aku untuk menghakimi?

Satu episode yang pernah aku lalui dengan air mata yang mengalir dari kedua bola mataku di panti jompo ini adalah saat Ono-san, seorang kakek yang selama hampir tiga bulan sudah aku ingat menu makanannya seperti apa, yang selalu melemparkan senyumnya ke arahku setiap pagi dari atas kursi roda yang mungkin sudah menemaninya cukup lama, menghembuskan nafas terakhirnya di hari dimana pada saat itu aku sedang libur.

"Suzuki-san, Ono-san wa kinou nakunarimashita" (Suzuki-san, Ono-san sudah meninggal kemarin) ujar Yajima-san, rekan kerjaku, saat melihatku sedang menyendokkan bubur ke mangkuk hitam khusus milik Ono-san.

"Hontou ni? Hontou desu ka? Uso deshou?" (Hah serius? Seriusan? Bohong kan?) aku tak percaya dengan apa yang aku dengar saat itu. Yajima-san hanya menganggukkan kepalanya. Ya, Ono-san memang sudah meninggal.

Beliau meninggal didampingi oleh istrinya yang juga tinggal bersama di panti jompo ini. Aku diberitahu oleh salah seorang perawat kalau saat itu, tidak ada satupun anak mereka yang datang walaupun sudah diberitahu. Dengan alasan sibuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun