Dalam perjalanan waktu, Yasonna kemudian membuat proses pencabutan kewarganegaraan RI Arcandra. Ini adalah akrobat hukum yang konyol. Tujuannya jelas, yaitu mau menunjukkan bahwa pada saat pelantikan Arcandra masih WNI, tapi Yasonna juga ingin menunjukkan bahwa UU No 12 tahun 2006 tidak dilanggar, padahal dalam pasal 29 undang-undang tersebut menegaskan bahwa menteri cuma mengumumkan bukan mencabut kewarganegaraan RI yang memang sudah hilang sejak tahun 2012.
Melanjutkan skenario konyol ala Yasonna itulah pada tanggal 1 September 2016 ia mengembalikan status WNI Arcandra dengan mengumumkannya pada 7 September bahwa proses pencabutan kewarganegaraan RI Arcandra telah dibatalkan.
Yasonna berdalih lebih lanjut bahwa Arcandra tidak perlu melakukan proses naturalisasi yang memakan waku lima tahun karena Arcandra berada dalam status tanpa kewarganegaraan atau stateless saat itu.
Salah siapa?
Kesalahan telah terjadi, seorang berkewarganegaraan AS telah dilantik menjadi menteri RI. Untuk mengoreksi kesalahan, Arcandra diberhentikan dengan hormat. Masalahnya salah siapa? Salah yang melantik atau salah yang dilantik?
* Kalau Presiden tahu bahwa Arcandra berkewarganegaraan AS, tentu yang melantik yang salah. Jadi, mengapa Arcandra perlu diberhentikan? Seharusnya bukan Arcandra yang diberhentikan, tapi Surat Keputusan Presiden yang mengangkat Arcandra yang dicabut.
* Sebaliknya, apabila yang dilantik yang salah, atau Arcandra tidak memberikan informasi yang benar kepada Presiden, maka Arcandra harus diberhentikan dengan tidak hormat, bukan dengan hormat.
Patutkah Arcandra kembali menjadi menteri?
Arcandra sudah sangat lama tinggal dan berkarya di AS sampai akhirnya ia menjadi warga negara AS pada tahun 2012. Kalau tidak ditawarkan jabatan Menteri ESDM yang membuatnya tergiur, kemungkinan ia akan tetap menjadi warga Negara AS dan tinggal di AS sampai akhir hayatnya. Jabatan seksi Menteri ESDM membuat gairahnya meluap dan melupakan segalanya, yang penting ia bisa dilantik dulu dan segera bertindak sebagai Menteri ESDM.
Dengan cacat moral seperti itu, jelas ia tidak proper (patut) untuk menjabat sebagai menteri yang seharusnya merupakan anak bangsa pilihan untuk membantu presiden memimpin bangsa ini.
Kalau keahlian dan kemampuannya dibutuhkan oleh negara, ia bisa dipekerjakan sebagai staf atau jabatan konsultatif apapun tapi tidak sebagai eksekutif puncak yang berkewenangan membuat keputusan-keputusan yang berdampak langsung pada kepentingan dan aset negara.