Setelah melewati waktu cukup lama untuk digadang-gadang, disosialisasikan, dijaring, disurvei, dan juga di-bully, para bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta makin mengerucut. Hanya beberapa nama yang bolak-balik diberitakan dan dibahas, sebut saja Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Tri Rismaharini (Risma), Sandiaga Uno, dan Djarot Saiful Hidayat. Sepuluh parpol pun melirik mereka, entah sebagai kawan ataupun sebagai lawan. Menariknya, kali ini Partai Demokrat tidak memiliki kader yang cukup berbobot untuk disandingkan bersama mereka dalam kontestasi ini.
Calon mana yang dilirik parpol-parpol?
Setelah memindai sekitar 150-an artikel dari media online, penulis mencoba menarik benang merah antara para calon dan parpol-parpol yang meliriknya, seperti pada diagram berikut ini.
Garis putus-putus menyatakan ketertarikan seperti yang diungkapkan oleh pimpinan atau tokoh parpol yang bersangkutan. Sebagai contoh, Nasdem, Hanura, dan Golkar yang setuju dengan Ahok untuk mengusung Heru Budi Hartono sebagai calon wakil gubernur tapi tetap membuka pintu lebar-lebar untuk Djarot menggantikan Heru apabila PDI-P memutuskan untuk bergabung mengusung Ahok.
Demikian juga, Gerindra dan PKS yang sudah menyatakan akan mengusung Sandiaga tapi akan manyambut baik kehadiran Risma sebagai calon gubernur, dengan komposisi Risma-Sandiaga mengingat elektabilitas dan popularitas Risma sangat jauh di atas Sandiaga, sementara elektabilitas Ahok sedemikian tingginya sehingga diperlukan cagub sekaliber Risma untuk menandinginya. Mungkinkah Gerindra dan PKS merapat ke PDI-P? Tentu saja, demi ABA (asal bukan Ahok). Kendalanya justru datang dari Risma yang enggan mengadu nasib di Pilgub DKI Jakarta dengan melepas jabatannya sebagai Walikota Surabaya.
PKB menyatakan membuat koalisi dengan PDI-P, kelihatannya pimpinan puncak PKB sudah mendapat bisikan dari PDI-P, ke arah mana kira-kira PDI-P akan menjatuhkan pilihannya.
Ke mana Partai Demokrat?
Demokrat dengan sepuluh kursi di DPRD dan tiadanya kader internal yang cukup memadai untuk melawan Ahok, memilih untuk low profile. Namun demikian, seperti biasa, Demokrat yang menyebut dirinya sebagai "partai penyeimbang" akan berusaha menarik manfaat dari situasi yang ada.
Seperti kata Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Ruhut Sitompul bahwa yang penting calon yang didukung Demokrat akan menang. Itu bisa memiliki dua arti yang berbeda: 1. Demokrat bekerja sedemikian intens dan efektif sehingga koalisi menang; dan 2. Demokrat cukup cerdik untuk memilih calon yang (diprediksi) kemungkinan menangnya paling besar.
Dengan strategi seperti ini, Demokrat tidak perlu buru-buru membuat keputusan. Karena tidak punya kader yang bisa dielus-elus, lebih baik menonton dulu, menyaksikan para calon figuran dan abal-abal berguguran, menyisakan para petarung unggulan yang lolos seleksi alam.