Pertarungan merebut kursi DKI-1 memasuki babak baru sesudah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memutuskan memilih jalur parpol pada 27 Juli 2016. Itu adalah jawaban Ahok atas adanya dukungan dari lebih dari sejuta warga DKI Jakarta lewat pengumpulan KTP dan dukungan tanpa syarat dari tiga partai politik (parpol): Nasdem, Hanura, dan Golkar.
Opsi-opsi langkah jawaban PDI-P
Sebagai satu-satunya parpol yang secara mandiri bisa mengajukan calonnya, PDI-P sejak awal bermain jual mahal dan banyak maunya. Mereka seperti kerajaan zaman Ramayana, mengadakan sayembara untuk menjaring para calonnya. Siapapun boleh ikut asal bayar uang tes sebesar lima juta rupiah. Namun PDI-P mewanti-wanti, meskipun bakal calon lolos dan diajukan oleh DPD DKI PDI-P, DPP bisa saja memutuskan berbeda, bahkan bisa memilih mereka yang tidak ikut uji kelayakan dan kepatutan. Dan akhirnya, Ketua Umum Megawati memiliki hak prerogatif untuk membuat keputusan akhir.
Sesungguhnya PDI-P sedang galau, tidak memiliki calon yang cukup elektibel menghadapi Ahok sehingga mereka cuma bisa mengulur-ulur waktu sambil menunggu di tikungan. Apa yang mereka lakukan selama ini hanyalah melempar-lempar batu ke air. Berikut ini adalah opsi-opsi yang mereka miliki.
Pertama, PDI-P lompat masuk ke gerbong Ahok sambil menitipkan Djarot Saiful Hidayat untuk dijadikan sidekick Ahok. Dengan pilihan ini hampir dapat dipastikan akan menang. Prosesnya pun akan mulus. Ahok sudah menyatakan membuka pintu buat PDI-P untuk bergabung dan sudah merasa cocok dengan Djarot. Djarot pun sudah menyatakan bersedia diboyong Ahok asalkan itu merupakan perintah partai (PDI-P). Jadi tunggu apa lagi, tinggal Mega menggumam, "Yes I do," impian langsung menjadi kenyataan.
Salah satu keberatan bagi PDI-P adalah bahwa Ahok adalah seorang pemimpin berkarakter yang tidak bisa berkompromi dengan kepentingan partai kalau itu bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak, sementara PDI-P lebih menyukai petugas partai yang loyal.
Kedua, PDI-P memaksakan kader terbaiknya melawan Ahok. Sejauh ini kader PDI-P yang memiliki elektabilitas tertinggi adalah Tri Rismaharini (Risma) yang belum setahun menjadi Walikota Surabaya periode 2015-2020. Risma memang secara jelas dan tegas menolak manuver panik Megawati dan PDI-P-nya itu, tapi para pimpinan PDI-P sering menyuarakan bahwa para kader adalah petugas partai yang tidak bisa menolak perintah partai.
Dengan kemungkinan kalah yang cukup besar, adalah konyol bagi Risma untuk mengadu nasib pada Pilgub DKI 2017 ini mengingat risikonya adalah kehilangan jabatannya sebagai Walikota Surabaya. PDI-P justru malah mendapatkan jabatan itu untuk Whisnu Sakti Buana kader sejati yang punya darah dan perilaku PDI-P.
Namun, kemungkinan PDI-P tidak menempuh opsi ini tapi karena alasan yang berbeda, yaitu takut bahwa setelah mereka kehilangan kejayaan di DKI Jakarta sejak 2017, akan berdampak pada elektabilitas PDI-P menghadapi Pemilu 2019.
Ketiga, PDI-P menghimpun dan bekerja sama dengan beberapa parpol lainnya seperti Gerindra, PKS, dan PPP. Opsi kedua dan ketiga ini bukanlah exclusive disjunction, keduanya bisa terjadi bersamaan (Risma bisa menjadi calonnya).
Dalam opsi ini PDI-P akan mengajukan calon gubernur, bukan wakil gubernur, kemungkinan terbesar, Djarot. Sementara itu kalau Gerindra sampai setuju opsi ini tentu akan bisa menerima hal itu dan cuma mengajukan wakil gubernur. Sejauh ini Sandiaga Uno tidak mau menjadi wakil gubernur, ia cuma mau menjadi gubernur. Jadi pasangan yang paling mungkin adalah Djarot Saiful Hidayat - Sjafrie Sjamsoeddin meskipun sulit menyaingi Ahok.