Mohon tunggu...
Suyono Apol
Suyono Apol Mohon Tunggu... Insinyur - Wiraswasta

Membaca tanpa menulis ibarat makan tanpa produktif.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bagaimana Ahok Memainkan Dua Kartu Trufnya

21 Juni 2016   07:25 Diperbarui: 21 Juni 2016   08:25 8
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basuki Tjahaja Purnama - Sumber Gambar: a.okezone.com

Saat ini Ahok telah memiliki dua kartu truf, yaitu: satu, dukungan tanpa syarat dari Nasdem, Hanura, dan Golkar yang gabungannya memiliki 24 kursi DPRD (5+10+9); dua, dukungan dari lebih dari sejuta warga DKI Jakarta melalui pengumpulan fotokopi KTP. Bagaimana ia memainkan kartu-kartu tersebut?

PDI-P tidak mau ditelikung Ahok, tapi juga tidak bisa dipercaya

Ahok plus PDI-P adalah formula menang tapi sejauh ini sulit bersinergi. PDI-P menghendaki agar prosedur yang sesuai mekanisme partai dijalani tanpa bisa ditawar-tawar, yaitu PDI-P tidak mendukung jalur perseorangan dan bakal calon terikat pada aturan partai tanpa ada jaminan akan dijadikan sebagai calon gubernur dari PDI-P kelak. Partai banteng ini tidak mau didesak-desak membuat keputusan mengingat waktu pendaftaran pasangan calon gubernur lewat partai ke KPU masih lama, yaitu 19-21 September 2016 (PKPU No 3 Th 2016).

Sebaliknya, Ahok memiliki konstrain waktu, yaitu penyerahan syarat dukungan bagi pasangan calon perseorangan ke KPU adalah 3-7 Agustus 2016 (PKPU No 3 Th 2016). Kalau Ahok menunggu-nunggu sampai PDI-P mengumumkan pasangan calon yang diusung mereka yang tidak ada kepastian jadwalnya, kesempatan Ahok maju bisa hangus. PDI-P jelas tidak dapat dipercaya, seperti yang pernah terjadi pada mantan Wakil Gubernur Jawa Tengah Rustriningsih pada tahun 2013. Teman Ahok menghendaki agar partai yang akan mengusung Ahok membuat surat rekomendasi yang menyatakan mengusung Ahok sebagai calon gubernur. PDI-P menolak karena tidak mau ditelikung Ahok yang menurut mereka pernah dengan mudah meninggalkan Gerindra setelah diusung sampai berhasil. Sesungguhnya dalam politik, surat rekomendasi pun bukan jaminan, ingat saja Perjanjian Batutulis yang bermeterai tapi berujung pada perdebatan kusir.

Kalau Ahok lewat jalur partai, kecewakah Teman Ahok?

Banyak orang lupa bahwa tujuan Teman Ahok meyediakan jalur perseorangan buat Ahok adalah agar Ahok bisa maju menjadi calon gubernur, bukan ingin bersaing dengan partai. Pada awal Maret 2016, meskipun Ahok memiliki elektabilitas tertinggi, posisi tawarnya lemah karena tidak punya kendaraan politik. Sebaliknya, PDI-P bisa menghanguskan kesempatan Ahok yang menanti harapan tidak jelas, dan pada ujungnya PDI-P mengusung kader partai sendiri.

Dengan langkah berani Ahok bersama Teman Ahok menempuh jalur perseorangan, posisi tawar Ahok meroket sehingga partai-partai politik seperti Nasdem, Hanura, dan Golkar berdatangan mendukungnya. Bahkan PDI-P bagaikan cacing kepanasan mencari calon gubernur pesaing Ahok. Meski ada puluhan bakal calon yang berminat tapi dibandingkan dengan Ahok, mereka hanyalah figuran yang sudah senang kalau ikut audisi. Usaha PDI-P untuk mengimpor kader superplatinumnya dari daerah juga bagaikan bagaikan menegakkan benang basah.

Jadi misi Teman Ahok untuk menyediakan kendaraan buat Ahok telah berhasil dengan baik. Dalam pertemuan yang akan diadakan Ahok, Teman Ahok, Nasdem, Hanura, dan Golkar, mereka bisa membahas dan memutuskan strategi apa yang harus dipilih, bukan hanya sekadar memenangkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, tetapi juga mengantisipasi keharmonisan eksekutif dan legislatif ke depannya.

Teman Ahok tidak perlu kecewa kalau Ahok memilih jalur partai. Kalau tidak ada Teman Ahok atau Teman Ahok tidak dipercaya memiliki kemampuan mengumpulkan dukungan warga DKI, pasti saat ini partai-partai politik masih menunggu polarisasi usungan yang akan dibuat oleh PDI-P, Gerindra, dan/atau lainnya. Kartu truf yang diciptakan Teman Ahok telah menghasilkan kartu truf kedua, yaitu dukungan Nasdem, Hanura, dan Golkar.

Penggunaan kartu truf

Kedua kartu itu datangnya sekuensial, jadi penggunaannya pun tidak harus paralel. Kartu pertama menghasilkan kartu kedua. Jadi kini giliran menggunakan kartu kedua.

Jelas, jalur partai adalah jalur tol, jalannya lebih lancar, apalagi undang-undangnya memang dibuat dengan partai sebagai acuan, sedang perseorangan dianggap sebagai alternatif saja.

Apabila Nasdem, Hanura, dan Golkar mengusung Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta lewat jalur partai, bukan mustahil PDI-P yang sedang galau di tikungan akan segera ikut lompat ke gerbong Ahok. Memberi tumpangan kepada PDI-P tentu ada untung dan ruginya.

Untungnya, jelas memuluskan, bahkan hampir pasti membawa kemenangan Ahok. Kalaupun PDI-P memberi persyaratan agar wakil gubernur adalah kader mereka --kemungkinan Djarot Saiful Hidayat, akan bisa diterima oleh pengusung lainnya.

Ruginya, PDI-P sudah ancang-ancang agar Ahok bersedia patuh sebagai petugas partai. Selain itu, PDI-P punya potensi menjungkalkan Ahok di tengah jalan sehingga wakilnya yang kader PDI-P bisa menjadi Gubernur DKI.

Sumber Gambar: a.okezone.com

--- •oo 00 O 00 oo• ---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun