[caption caption="Pilkada Serentak 2015 - Sumber Gambar: merantionline.com"][/caption]
Politisi Indonesia memang terkenal kreatif dan bisa sewaktu-waktu membuat keputusan yang mengejutkan, bahkan membingungkan mereka sendiri. Menabrak aturan atau keluar dari nalar bukan hal aneh. Masih segar dalam ingatan kita, pada Jumat 26 September 2014 sekitar pukul 02.00 dini hari, mayoritas dari anggota DPR (226 dari 361, sementara 120 anggota walkout) memutuskan dalam sidang paripurna bahwa pilkada digelar lewat DPRD.
Konyol? Mungkin tidak. Kalau diceritakan kembali sekarang, inilah penutup ceritanya, "Itulah politik, kemenangan dan kepentingan kelompok harus dicapai secara lihai dan legal." Salah? Jelas, buktinya sebelum sempat digunakan sudah dibatalkan pada Kamis 2 Oktober 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, yang mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang mengatur bahwa kepala daerah dipilih oleh DPRD.
Dan pada Selasa 20 Januari 2015 Rapat Paripurna DPR RI akhirnya mengesahkan Perppu Pilkada Langsung itu menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Selesai? Belum. Pada Jumat 13 Maret 2015 undang-undang itu mengalami perubahan, jadilah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
Calon tunggal dalam Pilkada 2015
Permasalahannya sudah dibahas dalam artikel terdahulu, di sini. Ternyata perdebatannya belum selesai juga. Mengapa para politisi Indonesia disebut keblinger? Prolog tentang pilkada lewat DPRD di atas adalah gambaran bahwa para politisi Indonesia bisa membuat keputusan egois kelompok secara nekat.
Dasar demokrasi Indonesia yang paling luhur adalah sila keempat dari Pancasila yang berbunyi, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan". Tidak ada yang lebih tinggi daripada itu. Artikel ini tidak berniat membahas atau mengurai kata demi kata atau mencocok-cocokkannya dengan isu yang ada. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan tentang jiwa atau roh dari sila keempat itu dan mengapa sampai sila itu ada. Intinya, kalau tercapai aklamasi secara alamiah, tanpa paksaan, adalah bagus. Itulah yang terjadi pada pemilihan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat periode 2015-2020. Seandainya tidak terjadi aklamasi, mereka tidak mengharamkan voting, asalkan mengikuti aturan yang ada, yaitu adanya calon lain yang mendapat dukungan dari bawah yang mencukupi. Apabila Megawati atau SBY dihambat untuk menjadi ketua umum karena tidak ada calon lain yang punya nyali atau kualitas untuk bersaing, itu namanya keblinger.
Ada pejabat tinggi di negara ini mengatakan, "... kalau calon tunggal namanya tidak ada pilkada. Pilkada itu kalau ada dua orang ya kan. Karena itu ditunda." Ia keblinger, terlalu mendewakan Peraturan KPU sampai lupa sila keempat Pancasila yang seharusnya lebih tinggi. Peraturan KPU atau undang-undang dengan mudah bisa diubah kalau kurang tepat. Kalau diputuskan, "Calon tunggal kepala daerah otomatis menjadi kepala daerah." Di mana salahnya?
Seorang pejabat tinggi lainnya punya usul konyol yang disampaikan kepada presiden (dan dicuekkan), yaitu dengan bumbung/kotak kosong. Maksudnya, pilkada tetap dilaksanakan yaitu antara calon tunggal itu melawan kotak kosong, jadi seperti voting "yes" atau "no" terhadap calon tunggal tersebut. Keblinger? Pasti. Kotak kosong itu mewakili siapa? Apakah semua calon lainnya yang berbeda-beda kepentingan itu dihimpun menjadi satu calon itu yang disebut kotak kosong? Kalau kotak kosong itu menang setelah buang-buang uang rakyat, bagaimana? Mengapa para politisi Indonesia sulit untuk mencapai keputusan, "Calon tunggal kepala daerah otomatis menjadi kepala daerah?" Jawabnya, lihat judul artikel ini.
Sumber Gambar: merantionline.com
— •oo 0θ Φ θ0 oo• —
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H